KOTA SERANG, biem.co — Pengadilan Negeri (PN) Serang menggelar sidang perdana kasus kepemilikan tanah di Jalan Soleh Baimin, Cimuncang, Kota Serang, Selasa (17/9/2019).
Meskipun pemerintah sudah berusaha untuk membuat rakyatnya sejahtera melalui pembagian sertifikat tanah, tetapi kenyataannya masih banyak anggota masyarakat yang harus berdarah-darah untuk mempertahankan hak atas tanahnya.
Mereka berjuang melawan perampas tanah yang pada umumnya kaya raya. Salah satu korban yang tanahnya dirampas adalah Sri Rastiti. Sampai saat ini, ia masih bertarung di Pengadilan Jakarta Selatan. Ia menggugat Menteri Agraria dan Badan Pertanahan Nasional dan Tata Ruang.
Permohonnya untuk mengajukan hak prioritas atas tanah negara bekas hak selama bertahun-tahun terpaksa dibawa ke pengadilan. Tentu saja ini menghabiskan tenaga dan biaya yang sangat besar. Sri Rastiti adalah pensiunan PNS dan mantan wartawan.
Hal ini disebabkan Kantor Pertanahan Serang tidak mampu menyelesaikan sengketa jual beli tanah negara. Menurut aturan, tanah negara tidak boleh dijual-belikan setelah habis masa berlakunya Hak Guna Bangunan tahun 2005.
Pemegang Hak Guna Bangunan/HGB No. 37 Serang itu atas nama PT Bina Cipta Gaya. Tahun 2006, PT Bina Cipta Gaya bubar tanpa lebih dulu memperpanjang HGB tersebut.
Menurut peraturan, tanah tersebut akan kembali kepada negara. Tetapi yang terjadi adalah Subeno menjual tanah dengan sertifikat HGB yang habis masa berlakunya tahun 2005 tadi, kepada Lie Hoa Hong, pengusaha kaya raya.
Setelah dilakukan pengecekan ke BPN, PT Bina Cipta Gaya tidak memperpanjang HGB tersebut. Artinya, jual beli itu tidak sah, karena yang dijual adalah sertifikat HGB yang sudah habis masa berlakunya.
Sementara, Sri sudah puluhan tahun tinggal di atas bangunan tanah tersebut bersama almarhum ayah dan adik sepupunya Kusyati.
Sri lalu mengajukan permohonan hak prioritas kepada Kantor Petanahan Serang. Permohonan ini sempat diproses dengan melengkapi berbagai surat persyaratan.
Kepala Pertanahan Serang Sudirwan mengabulkan permohonannya pada tahun 2012. Sudirwan pun memerintahkan agar melakukan pengukuran atas tanah tersebut untuk melengkapi persyaratan pernerbitan sertifikat. Sri bahkan sudah membayar lunas sertifikat tersebut dan tinggal menunggu selesainya proses terbitnya sertifikat.
Lalu tiba-tiba, Subeno yang sudah menjual tanah kepada Lie Hoa Hong melaporkan Kusyati ke Polres Serang. Laporan bahwa Kusyati menempati tanah tanpa izin pemiliknya kandas di Polres karena sudah kedaluwarsa.
Lie Hoa Hong yang merasa sudah melakukan jual beli tanah negara dan membayar sebagian kepada Subeno melalui Akte Jual Beli notaris Indrawati Patuh Mulyadi Serang, kemudian kembali melaporkan Sri Rastiti dengan pasal penggelapan benda tak bergerak ke Polda Banten sekitar tahun 2012.
Laporan tersebut kandas, karena selain tidak cukup bukti, pelapor Lie Hoa Hong tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah. Kasus ini dihentikan penyelidikannya tahun 2015.
Sementara itu, dua bangunan di atas tanah tersebut, salah satunya adalah gudang yang sangat tua dan nyaris roboh. Biasanya beberapa tukang becak sering tidur di sana.
Sebagai penghuni yang berada di sekitar gudnag tua itu, Sri berinisiatif untuk merenovasi agar bangunan tua itu tidak mencederai para tukang becak saat mereka tidur.
Sri lalu memberi tahu Lurah dan Kantor Pertanahan setempat perihal renovasi tersebut. Biaya renovasi cukup besar, lalu Sri memanfaatkan bekas bangunan berupa kayu, besi, genteng dengan sistem tukar tambah.
Renovasi berjalan lancar. Tetapi tiba-tiba saat renovasi masih berjalan, Lurah memerintahkan menghentikan renovasi atas permintaan Mario (anak Lie Hoa Hong) yang mengaku memiliki tanah tersebut. Sri pun patuh menghentikan renovasi yang tengah berlangsung.
Anehnya, Mario (tanpa bukti kepemilikan tanah) malah melaporkan Sri ke Polres Serang tahun 2015 dengan pasal pencurian dengan pemberatan, dengan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun penjara.
Meskipun Mario anak Lie Hoa Hong tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah, proses penyidikan terus berjalan. Padahal, Sri sudah membuktikan bahwa ia memiliki surat dari Kelurahan Cimuncang, yaitu dari dua lurah. Surat yang menyatakan Sri sudah tinggal di atas tanah tersebut sejak tahun 1985. Bahkan Kantor Pertanahan Serang sudah mengakui bahwa tanah tersebut dikuasai Sri.
Tapi yang terjadi adalah laporan Mario diproses di Kepolisian. Saat Ketua Kajari dijabat Vence, laporan Polres bolak-balik dikembalikan P19 karena memang tidak cukup bukti.
Setelah Kajari Serang diganti Azhari dan selama sekitar hampir dua tahun berlalu, tiba-tiba dinyatakan berkas dari Polres lengkap. Padahal sebelumnya Azhari menyatakan, selama ia menjabat Kajari, kasusnya tidak akan diproses P21.
Saat itu, Sri didampingi anaknya menjelaskan kronologisnya. Tetapi tiba-tiba status Sri dinyatakan P21 dan saat ini sudah dalam tahap 2. Tentu saja Sri merasa aneh, karena kasus tanah tersebut saat ini sedang dalam proses peradilan perdata di PN Jakarta Selatan dan sudah memasuki pembuktian.
Sementara, ada Surat Edaran dari Mahkamah Agung dan Kejagung, bahwa saat proses peradilan perdata berlangsung, proses kasus pidana untuk sementara dihentikan.
Sri pun tak tinggal diam. Ia lalu mengajukan kasusnya ini kepada Presiden, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Agung, bahkan ke Komisi Kejaksaan.
Pengaduan Sri direspons positif oleh Jampidum Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan. Saat ini, Kejaksaan Agung sudah turun tangan dan ikut memantau kasus perjuang Sri untuk menuntut hak prioritas melalui peradilan perdata di PN Jakarta Selatan yang didelegasikan kepada PN Serang.
Tanggal 17 September 2019, PN Serang akan mengadakan Pemeriksaan Setempat di lokasi, tepatnya di Jalan Saleh Baimin No. 42 Serang. (red)