biem.co — Sudah lewat jam kerja. Gedung kantor semakin sepi. Tinggal beberapa orang lagi di ruang yang lain. Tapi ia masih berada di kotak kerjanya, menatap layar komputer dengan serius sambil sesekali mendorong naik kacamatanya yang melorot dengan telunjuk ketika matanya beralih kepada map terbuka berisi lembaran kertas penuh angka dalam tabel-tabel di sisi kanannya. Ia belum mau pulang, karena baginya pulang ke rumah adalah hal yang membosankan. Di sana hanya ada properti dan ruangan-ruangan yang hampa oleh suara, kecuali saat ia berada di dalamnya. Maka dari itu ia kerap memilih pulang telat untuk menyelesaikan pekerjaannya, atau kadang ia akan mampir ke kafe untuk minum kopi di persimpangan jalan masuk kompleks perumahannya.
Bahkan ketika ponsel pintarnya berdering pun ia masih tetap tak acuh. Ia pikir itu pasti dari salah seorang temannya yang mengajaknya nonton film nanti malam. Karena hal itu kerap dilakukan temannya saat ia dalam fase serius menyelesaikan laporan pekerjaan. Terkesan mengganggu sebenarnya, tapi ia tak mau marah. Sebab memang betul bahwa ia perlu hiburan. Semisal nonton film action, petualangan, fantasi, atau film horor yang banjir darah hampir di sepanjang film diputar. Sampai akhirnya dering telepon itu berhenti untuk ketiga kalinya, lalu disusul nada pesan masuk tak lama kemudian, barulah ia tergerak untuk mengecek ponselnya.
Deg.
Jantungnya seketika berdegup dan seperti diremas, saat ia tahu bahwa yang sedari tadi meneleponnya, bahkan sampai mengiriminya SMS adalah seorang perempuan yang begitu ia cintai hidup dan mati. Perempuan yang tinggal begitu jauh dari tempat tinggalnya kini setelah ia memutuskan untuk tinggal sendiri.
Ibu.
Demikian nama yang muncul di layar ponselnya. Dan tak perlu waktu lama untuk berpikir ia langsung membuka pesan itu. Dibacanya dengan bibir bergerak mengikuti tiap kata yang tertulis di sana. Hingga dahinya berkerut dan ekspresi wajahnya berubah menjadi agak cemas.
“Assalamualaikum, Ananda Nagara, anakku yang santun dan selalu membuat rindu. Ibu tahu saat ini kamu sedang sibuk, maaf telah mengganggumu. Tetapi Ibu sangat membutuhkanmu saat ini. Segeralah pulang. Saudara kembarmu, Nagari, sedang sakit keras. Ia tiba-tiba saja tumbang saat sedang mengajar di kelas dan minta izin pulang dari pondok pesantren. Ibu tidak tahu dia sakit apa. Istrinya belum memberi tahu. Jadi Ibu mohon kepadamu, pulanglah. Meski Ibu tahu betul kamu masih enggan dengan keadaan ini. Salam rindu. Ibu.”
Usai membaca keseluruhan SMS ibunya, matanya langsung berkaca-kaca. Air mata tampak menggantung di balik kacamata bundarnya yang memantulkan cahaya komputer. Mendadak dadanya pun menjadi sesak dan kepalanya dihujani banyak pertanyaan. Ia menanyai dirinya sendiri. Sudah berapa tahun ia tidak pulang kampung dan memutuskan menjalani hidup sendirian di kota yang jauh dari tanah kelahirannya? Sudah berapa tahun pula ia tak pernah berkomunikasi dengan saudara kembarnya, atau bahkan ia merasa amnesia, apa benar ia memiliki saudara kembar? Berapa banyak cerita pula yang telah ia lewatkan di kampung setelah ia memilih pergi dan berhubungan jarak jauh saja? Apakah ibunya betul-betul bahagia memiliki dua anak kembar tanpa suami lagi di sisinya, sementara telah terjadi sesuatu yang akhirnya membuat ia dan saudara kembarnya saling menjauh bertahun-tahun? Ia menghela napas sembari menangkupkan kedua telapak tangan ke wajah bagian bawah. Sehingga pertanyaan-pertanyaan lain pun terus memenuhi kepalanya.
Ia telah bekerja dan tinggal di kota ini selama enam tahun tanpa sekali pun pernah kembali ke kampung halaman. Demikian hatinya menjawab sendiri. Ia sadar itu sebuah kesalahan meski ia tetap bertanggungjawab atas ibunya, menggantikan peran ayahnya yang telah lama meninggal dunia. Tentu saja saudara kembarnya tetap ikut serta menanggung kebutuhan ibu. Namun mencukupi tiap-tiap kebutuhan atau saling bertatap muka berjam-jam melalui panggilan video, tetap sepertinya masih kurang untuk melepaskan kerinduan ibunya. Bahkan ia tak sekali pun menanyai kabar saudara kembarnya, kendati ia tahu bahwa saudara kembarnya telah memiliki sepasang anak soleh yang tampan dan cantik. Ibunya kerap memancing percakapan tentang itu. Tapi ia lebih sering membahas tentang almarhum ayahnya dan rencana-rencananya sendiri.
Akan tetapi, kali ini ibunya benar-benar serius membahas tentang saudara kembarnya itu. Ibunya terdengar begitu cemas saat mengatakan bahwa kembarannya sakit keras dan sangat membutuhkan keberadaannya. Ia yang sudah tak ingin mengingat kejadian di masa lalu, rasa kecewa pada saudara kembarnya itu justru kembali meluap ke permukaan dadanya. Hal-hal menyakitkan di masa lampau seperti film yang bergerak cepat berulang-kali di kepalanya. Ingatan yang membuat ia memutuskan pergi dan tak bisa lagi sejalan dengan kembarannya. Kejadian yang pada akhirnya pun membuktikan bahwa sepasang saudara kembar tetap memiliki pilihannya masing-masing. Tak peduli ia memiliki wajah mirip dan perangai yang tak jauh berbeda.
Kemudian ia segera menelepon balik ibunya. Dengan dada berdetak lebih cepat, ia menunggu ibunya mengangkat telepon panggilannya dari kota ini.
***
Ia sudah pulang. Dan sekarang, ia sudah berada dalam sebuah ruangan berbau khas obat-obatan. Duduk di samping seorang laki-laki yang terkulai lemas di ranjang dengan selang infus di pergelangan tangan kirinya. Sambil membaca sebuah surah dalam kitab kecil yang sering dibawanya, surah pendek yang juga membuat ia terkenang kejadian lucu di masa lalu bersama lelaki berjanggut yang tertidur menahan sakit itu. Ia dan lelaki itu harus dihukum oleh guru mengaji karena secara sengaja bertukar hapalan surah. Memanfaatkan kekembaran mereka. Ia yang tidak hapal surah Al-Lail, sementara lelaki itu hapal. Begitu pun sebaliknya. Lelaki itu tidak hapal surah Asy-Syams, ia hapal. Membuat ia tersenyum sendirian dan matanya sesekali menatap keluar jendela, ke arah hujan yang turun sejak ia sampai di rumah sakit ini. Hujan yang serta-merta seperti ikut membawanya kembali ke masa lalu. Saat ia dan saudaranya kembarnya itu tumbuh bersama.
Ia terbayang ibunya yang memarahi mereka berdua saat kedapatan main hujan meski sudah dilarang. Atau sengaja meninggalkan payung yang mereka bawa bergantian di sekolah, hanya agar mereka bisa main hujan dan melepaskan kebahagiaan dengan basah-basahan. Ia ingat betul ibunya sangat repot saat mereka sakit bersamaan. Rasanya mereka telah membuat kesalahan besar pada ibunya bila telah begitu, bahkan sampai memutuskan saling menjauh selama bertahun-tahun. Saat mereka memasuki fase remaja, tatkala saudara kembarnya memutuskan masuk pondok pesantren sementara ia merasa enggan ke sana dan memilih ke SMP Negeri. Dan dimulailah konflik demi konflik berikutnya ketika mereka telah berbeda pandangan dan saling membantah saat bertemu, hingga ke persoalan asmara yang pelik.
Ia berusaha keras menyingkirkan kelebatan ingatan buruk melintas di kepalanya. Ia pikir bukan waktu yang tepat membiarkan ingatan itu muncul saat ini, saat saudaranya harus berjuang melawan kanker otak yang ternyata telah lama dirahasiakannya. Meski ia tahu hatinya masih perih bila mengingat itu.
Baca Juga
Kemudian selagi ia melanjutkan bacaan surah pendeknya, tiba-tiba saudara kembarnya batuk-batuk. Kelopak matanya yang terpejam bergerak-gerak pelan lalu terbuka. Jantungnya mulai berdetak cepat lagi. Mendapati perasaan cemas bercampur perasaan aneh yang lain.
“Na-Nagara?” ujarnya serak, ketika sepasang mata sayu itu menoleh ke arahnya.
“Iya, Ri. Istirahatlah dulu. Nanti kita cerita.”
“Sudah lama?” suara serak itu kembali menanyainya.
“Sekitar satu setengah jam yang lalu.”
“Padahal sudah kubilang pada Ibu untuk tidak menghubungimu.”
“Kenapa dilarang?” Ia balik bertanya.
“Aku tidak mau merepotkanmu.”
“Ah, tidak kok,” ia berbasa-basi. “Aku malah senang bisa pulang. Bisa bertemu Ibu dan anak-anakmu yang lucu itu. Mereka sungguh menggemaskan. Ternyata mereka sudah menjadi anak-anak yang asyik diajak ngobrol. Dan terutama, bisa bertemu denganmu juga, kan.”
“Jadi, jika aku tidak sakit, kamu tidak akan pulang?”
“Tidak seperti itu. Aku pasti pulang. Ibu adalah muara segala perasaan yang berlalu dalam hidupku. Dan kamu adalah satu-satunya saudara yang aku miliki. Jadi, tidak ada alasan apa pun untuk tidak pulang, kan?”
Suasana membisu. Hanya bunyi hujan yang menengahi keadaan kamar inap. Dan entah mengapa, tiba-tiba Nagari, saudara kembarnya itu, terisak dan wajahnya basah oleh air mata.
“Ada apa, Ri?” tanyanya seraya mendekatkan kursinya.
“Aku…. Aku sungguh merindukanmu, Saudaraku.” Suara Nagari terdengar serak oleh tangis yang ditahan-tahan. “Aku sungguh menyesal telah menjadi saudara kembar yang buruk untukmu. Aku tahu kesalahanku padamu tidak bisa dimaafkan.”
“Jangan bilang begitu. Kita semua pernah melakukan kesalahan, kan?”
“Tapi, semua yang kulakukan padamu sangat buruk!” Ia meninggikan suaranya sambil terus tersedu. “Aku belajar agama lebih dalam, tapi aku malah menyebutmu kafir, pembangkang Tuhan, hamba dunia, dan tidak pandai bersyukur. Padahal, para kiai tidak pernah mengajarkan aku demikian. Bahkan, aku juga yang membuatmu pergi dari rumah bertahun-tahun. Dan….” Nagari tak sanggup menyelesaikan kata-katanya.
“Aku pun sama, Saudara kembarku.” Katanya sambil meletakkan kitab kecil di meja samping ranjang. “Aku juga sangat egois. Aku juga mengataimu radikal, teroris, fanatik, sok alim, penguasa surga, dan entah apa lagi tiap kita berdebat soal paham kehidupan. Aku sadar kita telah jauh berbeda dari masa kecil kita yang tak terpisahkan. Kita saling memaksa menjadi bagian yang paling kuat untuk mendominasi. Padahal tidak seharusnya begitu.”
“Kamu benar. Seharusnya kita berpikir begitu sejak dulu. Saling menghargai saat aku memilih pesantren dan kamu sekolah negeri.”
Ia hanya mengangguk dan sejenak menunduk lebih lama. Merenungi percakapan yang sedang berlangsung.
“Ibu membutuhkan kita, Nagari. Ibu tidak bahagia. Ibu ingin kita menjadi anak-anak kecil manja yang dulu selalu berebut pelukan dan ciuman darinya.”
“Kamu benar, tapi….” Nagari mengelap air matanya. “Apa kamu benar-benar mau memaafkan aku? Bahkan, saat seharusnya Aisyah menjadi istrimu, tapi malah aku yang menikah dengannya?”
Mendengar nama Aisyah, perempuan yang menjadi istri saudara kembarnya itu, membuat dadanya agak berdebar lain. Ia ingat masa itu. Saat ia begitu mencintai Aisyah, tapi entah mengapa perempuan itu beralih perasaan kepada Nagari, hanya karena Nagari berpenampilan soleh dengan khas santri dari pondok pesantren. Ya, Nagari memang soleh dan taat beribadah. Tapi berpindah ke lain hati saat hatinya dipenuhi bunga-bunga asmara, adalah patah hati paling remuk yang sulit diobati.
“Kita tidak seharusnya membahas itu. Maut, jodoh, dan rezeki adalah wilayah Tuhan. Jika ia menikah denganmu, itu adalah rencana baik dari Tuhan. Kamu tidak bersalah. Lagi pula, aku sayang pada anak-anakmu. Aku telah memaafkan jauh sebelum hari ini.” Ia memperbaiki letak kacamatanya yang turun. “Lalu, bagaimana denganmu, apa kamu sudah memaafkanku?”
“Tanpa kata maaf itu pun, aku tidak pernah menganggapmu bersalah, Saudaraku.”
Wajah Nagari kembali basah oleh air mata. Antara menahan rasa sakit dan kebahagiaan yang meluap saat mereka mulai bertukar senyuman lalu disusul cerita-cerita lucu di masa lalu. Di luar pun masih hujan. Dan tiap tetes yang jatuh di jendela menjadi saksi bahwa menjadi utuh sebagai saudara serahim adalah anugerah yang tak ternilai harganya.
“Nagara?”
“Hmmm… Ya, ada apa, Nagari?”
“Maukah kamu melakukan sesuatu untukku?”
“Apa itu?”
“Jika aku tidak memiliki banyak kesempatan untuk menyaksikan sepasang anakku tumbuh dewasa, maukah kamu merawat mereka seperti anakmu sendiri?”
Ia tidak lekas menjawab. Dadanya dipenuhi gemuruh yang aneh.
“Aku selalu mencintai anak-anakmu. Tapi kumohon jangan katakan itu lagi. Sekarang, aku hanya ingin kita kembali ke dalam pelukan Ibu. Jadi tetaplah bersamaku.”
***
M.Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), Membaca Asap (2019), Antologi Cerpen Pasir Mencetak Jejak dan Biarlah Ombak Menghapusnya (2019) dan telah tersebar di media seperti Pikiran Rakyat, Rakyat Sumbar, Radar Mojokerto, Haluan Padang, Padang Ekspres, Riau Pos, Fajar Makassar, Banjarmasin Post, Magelang Ekspres, Radar Cirebon, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Radar Malang, Radar Tasikmalaya, Bangka Pos, Radar Bekasi, Tanjung Pinang Pos, Bhirawa, Analisa, Merapi, Cakra Bangsa, dll. Fiasko (2018, AT Press) adalah novel pertamanya. Bergabung dengan Community Pena Terbang (COMPETER), Komunitas Pembatas Buku Jakarta, dan Kelas Puisi Alit.