Puisi

Sajak-sajak Eddy Pranata PNP

 

Nelayan yang Kemudian Berlari Zigzag

Beberapa saat lagi matahari pecah di rimbun pohon-pohon
suara kluruk jago bersahutan, ia rupanya tengah berkemas
menata hati dan jiwa sebelum berangkat melaut

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

“Sampanmu telah tua tetapi masih bisa menerjang ombak
akan terus setia menjaring ikan!”

Ia pun mendongak ke langit, kedua tangannya terangkat
hingga ke atas kepala, bibirnya bergetar-getar

“Ini tubuh dan sampan hendak bertarung di laut lepas
berkahilah keringat yang menetes!”

Sampan itu terapung-apung di lautan lepas
ternyata tidak seekor pun ikan ditangkapnya

Ia segera ke tepian, bagai kesurupan berlari zigzag
bayang tubuhnya saling berkejaran

Matahari kian meninggi, tiba-tiba ia sungguh terkejut ketika
bayang dirinya selalu mendahului langkahnya

bayangan yang mendahuluinya itu kadang serupa buaya
kadang monyet, celeng, landak, anjing!

Ia sempoyongan, tersungkur, matanya terpejam tapi mulutnya
berceracau: “Hidup matiku untuk Allah, hanya untuk Allah!”

Ia lalu terlentang  perlahan kaku, matahari kian panas
tubuhnya meleleh menjelma kata-kata, o kata-kata itu
berbaris serupa puisi surealis.

Jaspinka, 2020

 

Dari Jendela Purwajaya

Dari jendela kereta Purwajaya aku melihat hijau sawah
Langit cerah dan tiang-tiang listrik–  belum satu kata pun
Bisa kutangkap, kutuliskan, untuk kenangan, untuk kuabadikan
Jadi puisi, tetapi kelopak mataku sungguh berat
Tak lama lagi mungkin terlelap dan tak memikirkan apa-apa
Termasuk hal yang sederhana: r i n d u .

Di luar kaca jendela air hujan merambat berguguran
Serupa kenangan jingga memecah, kadang gelap kadang terang
Kadang ngilu kadang nyeri

: “Engkau telah menyimpan kenangan terlalu banyak
Satu demi satu gugurkanlah, enyahkanlah, agar bilik puisimu
Luas dan menyenangkan”

Di luar kaca jendela air hujan merambat berguguran
Menjelma wajah-wajah  menyenangkan, serupa wajah kekasih
Tapi bukan, serupa tubuh puisi tapi bukan, serupa serbuk edelweis
Tapi bukan, lebih persisnya serupa segumpal cahaya dari hati
Seorang penyair yang sering menghabiskan waktu di pinggir kali.

Jaspinka, 2020

 

 

Ia Sungguh Berduka

Dan ia sungguh berduka, orang yang sangat berjasa dalam perjalanan
Hidupnya telah tiada, air matanya tidak terbendung— dosa salah
Seolah mengapung, di luar nalar tiba-tiba ia benturkan kepalanya
Ke dinding beton di hadapannya

“Aku manusia paling tidak berguna, paling banyak dosa!”

Ia meraung dan kembali membenturkan kepalanya
Ia ingin melafaskan doa sebanyak-banyaknya
Tetapi tidak sepotong ayat pun ia bisa
Ia sungguh menyesal, ia kembali meraung bagai singa lapar
Dan ia sempoyongan, perlahan tumbang–  teronggok lemah
Di pojok rumah sakit— persis gundukan sampah

Senja menjauh, di dalam ambulan yang meraung-raung
Berjalan kencang, ia terus berderai-derai air matanya
Jasad orang yang sangat dihormati terbujur kaku
Dalam keranda di hadapannya. Rasa bersalah, bongkah dosa-dosa
Bagai membelit-belit jiwa raganya
Ia ingin mengucapkan beribu sesal dan permohonan maaf setulusnya
Bibirnya bergetar-getar tapi tidak keluar sepatah kata pun
Hingga ambulan akhirnya sampai di depan rumahnya
Beberapa saudara dan kerabat menyambut menyambut jasad itu
Dengan jerit tangis, orang cukup banyak yang taziah
Jasad itu dimandikan, dikafani, dibawa ke tanah pekuburan
Dimasukkan ke liang lahat, ditimbun tanah, didoakan
Lalu kembang ditaburkan di atas pusara, air kelapa muda disiramkan

Azan isya telah menggema, tahlil dan yassin selesai
Sepinggan air mawar segera diantarkan ke kuburan
Disiramkannya air mawar ke atas gundukan pusara merah

“Lapangkanlah alam kubur, jauhkan segala siksa!”

Malam sungguh senyap, bulan tersangkut di ranting pohon kenari

“Hidup hanya sementara serupa orang sedang tamasya, kembali juga

Ke keabadian.”

Ia injak rumput liar, ia injak daun jati kering, bunyi gemerasak dan
Tiga ekor kadal lari sembunyi, o, rembulan yang tersangkut
Sudah terlepas dari ranting pohon kenari, langit yang temaran
Sekarang telah benderang, ia dadanya tiba-tiba berdebar-debar

“Tuhan, lapangkanlah alam kuburnya, masukkanlah ke dalam surga!”

Jaspinka, 2020

 

Lelaki Bersahaja Penulis Prosa

Lelaki penulis prosa yang sangat bersahaja duduk di risban
yang mengkilat–   berbaju batik coklat tua, celana hitam,
kopiah dan masker hijau muda. Di usia 72 masih perkasa,
bercahaya serupa karya prosanya yang mendunia

Sepeda ontel yang telah membawa seribu kenangan dan
sejarah terparkir anggun di pojok barat-daya rumah limas tua

“Kita harus berpihak ke orang papa dan orang tertindas!”

Dan tumpeng pun dipotong, satu helai daun gugur
satu penggal cerpen masih menunggu dilanjutkan
satu halaman novel segera dituntaskan.

Jaspinka, 2020

 

Sayap Camar Terluka
Alangkah Indahnya

Di ruang ini, ruang pengap dan senyap
Tak ada wajah puisi menyegarkan hati
Segalanya hanya elegi, hanya nyeri

“ Akh, gerimis di luar kian lebat dan langit
Makin gelap!”

Aku harus segera pergi–   ke laut yang ombaknya
Tinggi, karang-karangnya berlumut, dan ou kepak
Sayap camar yang terluka, alangkah indahnya.

Jaspinka, 2020

 

 

Weisku, Duka Segala Lara

Jikalau malam menua ini hanya
Engkau temukan sembilu, suara jangkrik
Dan embun yang mengapung

Segeralah berjalan ke utara
Menyusuri ceruk kampung

Ada ribuan kunang-kunang terbang merendah
Ke lembah

Ribuan kunang-kunang itu membentuk konfigurasi
Siluet kekasihmu, lebur berantakan, sesaat kemudian
Membentuk taman bunga, lebur berantakan
Membentuk siluet kekasihmu, lebur berantakan lalu
Membentuk gelombang memecah, lebur berantakan
Lalu membentuk konfigurasi siluet kekasihmu, o
Weisku, duka segala lara!

Jaspinka, 2020

 

Mercusuar Legok Jawa

Sebelum sampai menara mercusuar Legok Jawa
Terlentang juga tubuh ringkih ini di Batukaras

Pantai sudah sangat gelap, hanya satu dua
Kelip lampu nelayan di kejauhan
Dan lihatlah sesayat rembulan mengapung di atas laut
Timbul tenggelam serupa baris puisi

Di bangku kecil memanjang, di bawah menara mercusuar
40 meter konstruksi beton, di dekat bara api, aku
Mendengar gemuruh dan debur ombak bagai menggila
Tak henti-henti sementara gerimis tertiup angin
Serupa sutera memecah lalu daun-daun pinus kering
Berguguran menerpa tanah sepi

: “Debur laut itu adalah hati yang tersayat-sayat rindu
dan kerlip mercusuar mengabadikan setiap baris puisi!”

Jaspinka, 2020

 

Kedalaman Laut

Yang sering engkau ingatkan jangan berumah
Di tepi pantai kalau tak ingin dihempas badai

Aku ingat itu, tetapi sebagai lelaki laut
Aku sudah terbiasa dengan badai
Sudah terbiasa dengan cuaca buruk
Aku paham betul setiap jengkal gelombang
Yang bergulung-gulung, juga setiap derai hempasan ombak

Aku selalu berserah pada kedalaman laut
Pada segala kasih dan misterinya
Engkau boleh berkata sesuka mulutmu
Tetapi suatu saat mulutmu bisa menjelma harimau
Yang tanpa ampun akan menerkammu
Engkau boleh merasa paling besar kepalamu
Tetapi suatu saat orang bisa melihatmu serupa sampah
Engkau lebih baik mencebur ke laut saja
Belajar pada arus dan gelombang, pada pusaran ombak
Juga pada kearifan batu karang

: Bertasbihlah ketika sampanmu yang rapuh meluncur
Diombang-ambing gelombang, terjunlah ke kedalaman laut
Laut kasihNya.

Jaspinka, 2020

 

 

Yang Membuatmu Sakit Hati

Banyak hal yang bisa membuatmu sakit hati
Satu di antaranya adalah ketika engkau ditusuk
Dari belakang ditipu mentah-mentah
Padahal bila di depanmu orang yang menusuk itu
Selalu bermulut manis bermuka gerhana bulan
Dan mengelus-elus pundakmu

“Jangan terlalu percaya dengan orang lain apalagi
Bila mulutnya terlalu manis, bermuka gerhana bulan
Dan suka mengelus pundakmu!”

Kekecewaan yang menimpa hatimu, juga karena
Terlalu terobsesi mendapatkan mimpimu

“Kau harus mengerti, kenyataan tak selalu
Membahagiakan bisa saja jauh dari harapan!”

Engkau harus segera berlindung pada kasihNya
Tempat segala curahan duka!

Jaspinka, 2019

 

Menunggu Hujan Reda

Menunggu hujan reda dalam sebuah perjalanan
Dan berteduh di emperan ruko yang tutup
Rasanya sungguh tidak menyenangkan
Tempias membasahi celana, sesekali kilat dan petir
Bagai menyambar

Engkau akhirnya memutuskan menembus hujan lebat
“Hujan bisa menyenangkan hatimu, bisa juga
Membasuh sebagian kenangan manismu!”

Engkau pun tersenyum dalam deras hujan.

Jaspinka, 2019

 

Masih Berapa Tetes Lagi Air Matamu

Masih tersisa berapa tetes lagi air matamu?
Jangan kauhabiskan untuk sebua luka
Pertarunganmu dengan kenyataan masih sangat pedih

: “Engkau boleh menimbun kesumat, tetapi liang lukamu
Kian menganga!”

Ada baiknya sekali waktu engkau pergi jauh
Menuruni bukit dan lembah, membelah kota
Menyisir selat bergelombang tinggi
Lalu kaubuat ruang pertapa dalam geronggang karang
Memahami detak jantungmu, mengarifi alir darahmu

: “Sudah seberat apa beban dosamu?
Sebanyak apa luka dalam hatimu?”

Setelah dirimu benar-benar nol, keluarlah dari
Pertapaanmu, matahari masih memutarkan waktu
Engkau harus kembali bertarung dengan kenyataan
Jangan kauhabiskan airmatamu untuk sebuah luka.

Jaspinka, 2019


Eddy PranataTentang Penulis: Eddy Pranata PNP— meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi. Juara 1 Lomba Cipta Puisi Sabana Pustaka tahun 2016, Nomine Penghargaan Sastra Litera tahun 2017 dan 2018, Nomine Krakatau Award 2017 dan 2019. Sejak tahun 2014 mengelola Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019).

Puisinya dipublikasikan di Horison, Litera, Kanal, Jawa Pos, Indo Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Padang Ekspres, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Singgalang, Haluan, Satelit Pos, Banjarmasin Pos, Tanjungpinang Pos, Solopos, Radar Banyumas, Minggu Pagi dan lain-lain.

Puisinya juga terhimpun ke dalam antologi: Rantak-8 (1991), Sahayun (1994), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Puisi Sumatera Barat (1999), Bersepeda ke Bulan (2014), Patah Tumbuh Hilang Berganti (2015), Negeri Laut (2015), Matahari Cinta Samudera Kata (2016), Negeri Awan (2017), Seutas Tali Segelas Anggur (2017), Hikayat Secangkir Robusta (2017), Mengunyah Geram (2017), Negeri Bahari (2018), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), Monolog di Penjara (2018), Kota Kata Kita (2019), Negeri Pesisiran (2019). Mata Air Hujan di Bulan Purnama (2020), Semesta Jiwa (2020) dan lain-lain.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button