Soledad Two Chorus
sebuah perjalanan memanggilku kembali. siang dipenuhi bayangan.
di antara tembok-tembok kulihat permukaan nyawa berdebu, dan
udara panas mengurapi puing-puing gedung hanya memantulkan
masa lalu yang tak pernah bisa kuraih dengan hatiku. aku mendengar
suara-suara pipih melaju di jalanan yang resah, di atas sungai jauh.
melewati tanah-tanah ujung retak. tak ada yang bisa bertahan sebab
– perubahan, tak ada yang bisa menahan modernisasi. kota masa lalu,
orang-orang muncul dari pucuk bayangan, merantau untuk menemukan
nasibnya sendiri, dari satu matahari yang sama atau semakin matang kau.
jejak-jejak tak dibaca dan hilang begitu saja, kau dan mereka yang
tak pernah kembali ke tempat semula menjadi.
sendiri kadang tak menjanjikan apa-apa, maka kau lebih memilih
menanyakannya pada sunyi, merayakan puisi, juga keinginan-keinginan
yang belum sempat terjadi. jalan malam hari, tiang-tiang lampu rapuh dan
cahaya keremangan itu. bila suatu saat nanti, waktu memilihkan perjalanan
buat berkelana, atau memulihkan kembali kenangan, dan seseorang mening
-galkanmu sepi, tak ada sebuah pilihan untuk menolak atau terusir,
tak ada nyali lagi…
2019
Perjalanan ke Kampung
ke pelosok yang sulit dijangkau, ke sanalah puisi ini pergi.
rumah-rumah sudah berubah dikelilingi derita. aku tumbuh
sebagai seorang diri, berjalan dalam lingkaran musim
yang membuatku hanya bisa terbang seperti udara panas.
debu siap terusir di dalamnya saat ikut angin yang memerah.
hujan mengembalikan segala kenangan pada tanah, tapi tanah
semakin kucil dan sulit sekali ditumbuhi harapan dan mimpi.
ke kampung-kampung, di sanalah puisiku menabung kata-kata,
berjalan sendiri di dalamnya dan tak bisa mengadu pada siapa-siapa.
suaraku hanya menjangkau siang yang asing; suaraku adalah suara
-suara musim dingin kepunyaan negeri tetangga, suara salju, mungkin,
yang gugur tak lebih keras dari laju hujan di kampung halaman dulu.
aku tak bisa melupakannya, aku menempuh semua dalam kesepian puisi.
2019
Angin yang Kembali dari Kota
malam hari, jantungku mendengar langkah angin yang kembali
dari kota. sejuk berbaring dan duduk di dahan-dahan pinggiran.
siang telah digodog dalam panci metromini. jilat api jalan-jalan
memantulkan jiwa aspal yang fatamorgana, neraka berjalan
di atasnya. pohon-pohon sekitar yang sedikit nampak kucel
dan kurus. debu-debu berpesta di udara dengan alcohol
yang menguar dari balik baju yang diparfum berlebihan,
naik ke langit dan lapisan-lapisan ozon satu per satu bolong,
meneropong paru-paru kita. seekor burung terbang kepanasan
dan kehausan. petang berpuncak di malam yang sejuk, di tepian kali,
daun-daun tersenyum kena kabut, lampu-lampu membersit lugu.
ketika fajar matamu melekat di embun, bening memandang bunga
memekar nanar, masih menyimpan sisa angin yang pulang,
bersamamu dari tubuh kota yang mengusap asap celaka…
2019
Baca Juga
Dongeng Kota
: 3000 tahun yang akan datang
di sudut terpencil kota, 3000 tahun yang akan datang.
sebuah jalan dan jejak-jejak tak berhuni membentang
ke sebuah hutan jauh seperti tangan. jari-jari ingatan api
menyentuh kilang minyak yang meledak, bakaran
berlangsung selama sebulan. negara-negara seperti kepala
dan hewan-hewan berkembang seperti jamur di kain
seperti kutu pada rambut. sistem kereta api bawah tanah
yang dulu menghubungkan cinta, kerja, dan keluarga,
kini adalah jeda panjang yang berisis sisa kematian.
pompa drainase yang ditinggalkan, membanjiri terowongan
dalam tiga hari bagai mengalirkan kenangan-kenangan
tanpa jiwa. jutaan manusia dalam keranda kematian
lenyap dan padam. generator darurat yang telah mati
seperti hati yang lama mati di pekuburan tanpa nisan,
dan kota gelap gulita setelah berabad-abad pencerahan lenyap.
trotoar yang rusak akibat gulma dan akar pohonan,
jalan-jalan menjadi sungai-sungai minyak.
inilah siklus pembusukan musim yang akan membekukan
dan mencairkan. pipa-pipa bocor meruntuhkan gedung
pencakar langit. kota yang dibangun sekitar delta
terhanyut memenuhi anak sungai. hancuran beton
hancuran beton seperti kehangusan mereka dulu.
seribu tahun lalu…
di sudut kota, 3000 tahun yang akan datang. tempat
orang-orang pernah ada dan hidup bersama, kini kerontang,
tanpa kemampuan buat berduka lagi, tanpa merasakan luka
dalam sejarah tua yang panjang, dalam silsilah nenek moyang.
udara menahan nafas, waktu yang berusaha mengekalkan janji
menjadi dongeng, menjadi seperti bulan-bulan kacau. perubahan
rindu yang datang sedikit demi sedikit lewat angin di dua puluh
tahun kekosongan terakhir, tuhan inginkan lagi abad-abad silam
dengan mengamati trauma, hutan-hutan meliputi segala, laut,
hijau pohonan teduh, serta para manusia menanam dan memanen.
bahwa kepedihan adalah warisan nyawa generasi-generasi terakhir,
tugas-tugas paling berat seperti kita ditakdirkan kiamat, orang-orang
penyintas yang terbatas dalam hidupnya, yang merusaki kota-kota,
kini cuma lanskap hampa seribu tahun…
2019
In Memorian
jika kita bertemu lagi
di suatu kemalangan waktu
pesanlah hari lain selain minggu
pilih orang lain untuk temanmu
sudah penghabisan kali lampauku
tak terasa lagi dalam pecahan jam
jika pada suatu saat nanti, dan lagi
jarum merajut patahan ranting cemara
jangan kaubuka buku ini
dan lagi, jangan baca puisi-puisi
2019
Tentang Penulis: Khanafi, lahir di Banyumas, Jawa Tengah, pada 4 Maret 1995. Tulisan-tulisannya berupa puisi, cerpen, dan essay tersiar di beberapa media massa baik situs daring maupun cetak, seperti; Detik.com, Linikini.id, Tembi.net, Litera.co.id, Sastra Biem.co, Becik ID, Apajake.id, Koran Tempo, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Radar Banyuwangi, Radar Banyumas, Budaya Fajar, Pos Bali, serta terikut dalam berbagai buku antologi puisi. Beberapa puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Penulis berkhidmat di Forum Penyair Solitude. Sehari-hari bekerja sebagai editor lepas. Sekarang penulis tinggal di Purwokerto dan tengah merampungkan buku kumpulan puisinya. Penulis bisa dihubungi melalui E-mail : [email protected].