Oleh: Uus Muhammad Husaini
biem.co — Saat ini kita hidup di zaman teknologi informasi. Berbagai informasi, pemikiran, ideologi, bahkan gosip pun semakin mudah kita peroleh melalui media cetak, media elektronik, media sosial dan lain-lain. Semuanya bisa kita dapatkan dalam genggaman tangan. Dan kita menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia teknologi informasi tersebut. Namun sayangnya perkembangan arus informasi yang begitu pesat itu tidak diiringi sikap kehati-hatian. Dengan atau tanpa disadari seringkali ketika menerima sebuah informasi kita langsung meresponnya dengan menyebarkan informasi tersebut atau mengambil keputusan, tanpa melalui proses tabayyun terlebih dahulu.
Perlu dimaklumi bahwa informasi yang kita dengar dan kita baca tidak mesti semuanya benar. Terlebih lagi kita hidup pada zaman yang banyak terjadi fitnah, hasud, ambisi kekuasaan, sehingga banyak orang melakukan kebohongan atas nama tokoh, publik figur, ulama, juga organisasi tertentu yang bertujuan menciptakan fitnah dan kekacauan. Berita seperti itu tentunya bukan hanya merusak kehormatan manusia, akan tetapi merusak kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.
Islam –dengan kedua pusakanya berupa al-Qur’an dan al-Hadits– sesungguhnya telah mengajarkan kita sebuah konsep yang kita kenal dengan tabayyun. Secara bahasa kata tabayyun memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Sedangkan secara istilah, Syaikh al-Jazâ`iri mengartikan tabayyun dengan meneliti sebuah informasi sebelum berkata, berbuat atau mengambil keputusan (Aysarut-Tafâsiir: 1259). Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran surah al-Hujurat [49]: 6
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Ayat ini mengandung sebuah pelajaran yang penting dalam menerima informasi agar umat tidak mudah terpancing, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar berita palsu, isu murahan, berita yang menebar fitnah atau media yang membenci Islam.
Baca juga: Uus Muhammad Husaini: Ketika Tangan dan Kaki Bicara
Peringatan dan pesan Allah dalam ayat ini tentu bukan tanpa sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi. Terdapat beberapa riwayat tentang sebab turunnya ayat ini yang pada kesimpulannya turun karena peristiwa berita yang harus diteliti kebenarannya dari seorang Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith tatkala ia diutus oleh Rasulullah untuk mengambil dana zakat dari Bani Al-Musththaliq sebagaimana yang diriwayatkan oleh Said dari Qotadah. Ketika mereka melihat dan akan menemuinya, al-Walid merasa ketakutan. Kemudian pulanglah Al-Walid menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka telah murtad (keluar dari Islam), padahal ia tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. Rasulullah kemudian mengutus Khalid bin Walid untuk mengklarifikasi kebenarannya, sehingga turunlah ayat ini mengingatkan akan bahaya berita palsu yang coba disebarkan oleh orang fasik yang hampir berakibat terjadinya permusuhan antar sesama umat Islam saat itu. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an: 283)
Yang menjadi catatan di sini adalah bahwa peristiwa ini justru terjadi di zaman Rasulullah yang masih sangat kental dan dominan dengan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang semakin sulit mencari sosok yang jujur dan senantiasa beri’tikad baik dalam setiap berita dan informasi yang disampaikan? Apalagi berita dari orang-orang yang mempunyai kepentingan ataupun niat yang tidak baik terhadap kelompok tertentu.
Perintah tabayyun atau mendalami masalah merupakan peringatan, jangan sampai umat Islam melakukan tindakan yang menimbulkan dosa, sikap permusuhan, kebencian dan penyesalan akibat keputusannya yang tidak adil atau merugikan pihak lain karena informasi yang tidak benar.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tabayyun merupakan sikap yang harus dilakukan oleh setiap muslim dalam menerima sebuah informasi dari manapun, agar umat Islam tidak mudah terprovokasi, diadu domba, dipecah belah, dan dihancurkan oleh orang-orang yang memusuhinya. Dan hendaknya kita tidak menerima berita dari seseorang yang majhul (tidak diketahui kepribadiannya) karena kemungkinan kefasikannya sangat besar.
Semoga kita mampu menangkap pesan Allah yang cukup agung ini agar terhindar dari penyesalan dan kerugian. Wallahu a’lam bi al-showwab.
Uus Muhammad Husaini, adalah Pengurus Forum Dosen Agama Islam Universitas Serang Raya dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir.