CerpenInspirasi

Cerpen Nasrullah Alif: Singgah 1000 Tahun

Cerpen Nasrullah Alif 

 

biem.co – Sebagai sahabat, aku paham bahwa mencintai adalah sesuatu yang amat makruh dalam ikatan ini. Sahabat yang harusnya menjadi sandaran kala masing-masing dari kita terpatahkan hati, justru akan merenggut kebersamaan kini. Tapi, aku sadari hati ini takkan pernah bisa berbohong meski ribuan kali, karena pada akhirnya logika akan kalah dengan perasaan hati.

 

Kala dulu, saat masih diri kita teramat lugu, sama-sama kita bergandengan untuk menggapai harapan dan cita semu. Amat lugu, hingga rumput pun seakan layu kala melihat kita dulu. Kau ada untukku, dan aku pun selalu ada untukmu. Itu janji yang amat manis dalam hidup, seakan aku meminum kopi yang amat syahdu, dan membuat candu.

 

Hingga remaja menjelang, sedikitpun persahabatan kita tak merenggang, atau bahkan “perang”. Sama sekali tak pernah kita temui perkara seperti demikian. Karena, aku rasakan hubungan kita memang amat tulus tak terhalang kan. Membuat diriku menjadi nyaman. Kata anak-anak zaman sekarang aku ini “kebaperan”, dan aku tak menafikkan.

 

Tapi kau pikir tak kurasakan sedikit galau? Aku selalu memikirkan itu, walau hanya sekadar bayang semu. Sedari dulu aku memikirkan bagaimana nanti aku bukan lagi di sisimu, dan bukan aku lagi yang menjadi sandaran kamu. Mungkin memang aku bersalah. Karena sudah aku katakan, mencintai adalah suatu hal yang amat terlarang untuk kita, dan hanya berujung retak dan berpisah. Kau pun mengamini, dan aku hanya bisa menyesali.

 

Apalagi saat kita sedang menikmati masa lenggang. Kita menikmati walau hanya sesaat, dan walau hanya sekedar bersenang-senang. Walau aku rasa kebahagiaan itu tetaplah hanya remang-remang. Bagiku, itu hanya sekedar perasaan yang berlalu-lalang. Rapuh bagai rumput ilalang.

 

Gila. Aku memang sangat terobsesi dengan kamu, dan amat ingin memilikimu. Tapi pernahkah kamu sadari? Kamu pun dengan amat tega menjadikan aku hanya sebagai tempat persinggahan, dengan dalihmu bahwa hubungan kita hanya persahabatan, dan tak akan pernah bisa menjalin percintaan. Jika semestinya begitu, jangan pernah kau buat aku mengharap semu. Jika kau hanya ingin bersandar, cukuplah bersandar tanpa buat aku bergetar. Jika kau butuh pelukan, cukupkan itu tanpa kau beri aku kecupan.

 

Kau pun juga termasuk salah, hingga membuat aku menjadi seperti ini, dan membuat perasaan ku merekah. Lalu dengan semena-mena kamu tak merasa membuat salah, dan tetap melakukan semua itu berulang kali hingga terlewat parah. Iya, jika kau ingin menebak, aku sudah terlanjur mencintaimu. Walau hanya sekadar menjadi tempat singgahmu.

 

***

 

Jika ingin pergi, pergilah. Aku tak ingin kau berlalu lalang seenakmu  Ucapku yang kini akhirnya mencoba jujur. Aku katakan semuanya, hingga kamu mungkin (entah) terperanjat. Aku sama sekali tak paham kamu hanya bisa berkata demikian, dan (lagi-lagi) tak merasa bersalah.

 

Kamu sedang bercanda ya? Hehe sempat nya kau mencanda aku, padahal hatiku sudah amat terkikis dengan pertanyaan tadi. Dinda, aku ini sedang serius dan tak main-main sembari memegang pundaknya, aku pun menangis dengan isak yang bahkan kini kau terperanjat. Jangan menangis… kau hanya bertutur gemetar seperti itu.

 

Lalu, kau mendekap ku erat dengan pelukanmu yang sebenarnya sudah ratusan kali aku rasakan, tapi tak sedikitpun aku bosan. Kamu dan kehangatan.

 

Lalu kembali lagi memori itu, sekelibat amat cepat tak terlihat, namun nyatanya mataku menangkap mereka, dan tanpa aku sadari betapa itu semua adalah keindahan yang pernah aku alami sepanjang hidup. Aku mungkin membencimu, dan kini aku tak tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan aku, kau dan perasaan ini. Tapi tetap saja aku tak bisa berkata tidak untuk melupakan lukisan wajahmu. Walau hanya sesaat.

 

Radio tua di ujung sana mengalun-alun suara musik. Dengan perlahan musik itu mulai menghanyutkan aku dan dirimu dalam nuansa aneh ini, dan yang sebenarnya aku enggan pula melepasnya.

 

Tetaplah engkau di sini, jangan datang lalu kau pergi

Jangan anggap hatiku jadi tempat persinggahanmu

 

Bila tak ingin di sini, jangan berlalu-lalang lagi

 

Untukmu, sebenarnya 1000 tahun aku bisa menjadi persinggahanmu.


Nasrullah Alif, penikmat sastra romansa, dan penggiat Buletin Senja (Buletin mahasiswa adab humaniora, UIN Jakarta)

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button