Oleh Tanda Setiya*
biem.co – Organisasi merupakan organisme yang hidup. Sebagai organisasi maka memiliki satu organ yang vital yang disebut kepala (head) (Rewansyah: 2011:100). Organisasi publik dalam kenyataannya memilik organ vital tersebut yang disebut pemimpin. Pemimpin ini adalah ruh dari organisasi, yang berfungsi sebagai manajer yang akan membawa organisasi pada tujuan yang telah ditetapkan. Terkait dengan hal tersebut, seorang pemimpin harus memiliki kriteria yang mumpuni dalam me-manage organisasi.
Kepemimpinan yang tidak melayani seperti tuntutan New Public Service, akan menghambat kesuksesan organisasi, sehingga fungsi-fungsi administrasi tidak bisa berjalan dengan baik. Kenyataan saat ini di Indonesia, banyaknya pemimpin yang terseret kasus korupsi, melakukan tindakan asusila dan perilaku tidak terpuji lainnya, menandakan sedang terjadi krisis kepemimpinan. Tulisan berikut akan menyajikan bagaimana ciri dari pemimpin yang melayani dalam perspektif modern dan bagaimana menurut konsep kepemimpinan Jawa (Kitab Wedhatana KGPAA Mangkunagoro IV dan Penghayatan Keagamaan Orang Jawa (Dr. Purwadi). Tulisan ini tidak melakukan analisis atas kedua konsep beda masa tersebut, namun hanya memberikan perbandingan agar menjadi referensi bagaimana konsep modern yang diusung oleh para ilmuwan dibanding konsep klasik budaya Jawa terkait kepemimpinan yang melayani.
Kepemimpinan yang Melayani:
Konsep Modern, Wedhatama, dan Kitab Penghayatan Keagamaan Orang Jawa
Karakter pemimpin yang melayani, banyak diberikan kriteria oleh para ahli, salah satu kriteria kepemimpinan yang melayani dikemukakan oleh Kathleen Patterson yang memberikan 7 (tujuh) karakteristik pemimpin yang melayani yaitu : Cinta Kasih, Rendah Hati., Altruism, Memiliki Visi, Rasa Percaya, Memberdayakan Pihak Lain dan Melayani.
(Tujuh karakteristik Pemimpin yang dikemukakan oleh Kathleen Patterson)
Kebudayaan Jawa ternyata juga telah mengenal konsep kepemimpinan yang melayani. Hal ini salah satunya tertuang dalam kitab Wedhatama karangan KGPAA Mangkunegoro IV. Pada serat Wedhatama butir kelima tertuang pelajaran sebagai berikut :
Mengkono ngelmu kang nyoto
Saknyatane mung weh reseping ati,
Bungah ing ngarane cubluk
Sukeng tyas yen den ino
Nora koyo si punggung, engkang gumunggung,
Ugungan sadino dino
Ojo mengkono wong urip
Dari pelajaran tersebut bahwa pemimpin harus memiliki sikap melayani, belas kasihan serta membuat senang hati orang lain tanpa pamrih sesuatu pun untuk pribadinya sendiri. Walau dihina/dicemooh orang, ia akan menerimanya dengan sabar dan besar hati, serta dapat memaafkannya. Sikap-sikap itulah yang harus dimiliki sebagai pemimpin yang melayani.
Dalam konsep kebudayaan Jawa dikenal istilah mulat sariro atau mengenal diri sendiri. Sikap ini sangat dibutuhkan bagi pemimpin yang melayani. Sunarto dalam bukunya yang berjudul Serat Sasongko Jati menyatakan terdapat 5 kebaikan tentang sikap mulat sariro yaitu : rila, narima, temen, sabar dan budi luhur. Kelima konsep tersebut ternyata diambil dari Serat Wulangreh
Demikianlah perbandingan bagaimana konsep ciri kepemimpinan melayani yang modern, dibanding konsep kebudayaan Jawa. Pada dasarnya konsep modern maupun klasik terkait ciri pemimpin yang melayani adalah pemimpin harus berbuat untuk melayani dengan tulus, bukan untuk mencari keuntungan diri, namun berbuat untuk orang lain dengan penuh kasih sayang dalam bekerja sama meraih cita-cita yang telah ditentukan bersama.
*Penulis, adalah Dosen PKN STAN Bintaro.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.