biem.co — Kemerdekaan seolah hanya diperingati setiap satu tahun sekali. Dengan upacara penaikan Sang Saka Merah Putih di lapangan Istana Negara atau di lapangan daerah-daerah setempat, sekolah-sekolah, atau sekedar panjat pinang sambil beradu dengan lumpur. Padahal, arti kemerdekaan bukan hanya sekedar demikian. Menahan terik matahari pagi, berdiri tiga puluh menit, sembari menyaksikan bendera berkibar gagah di atas tiang katrol. Melainkan sebuah perjuangan nyata oleh para nenek moyang Bangsa Indonesia agar mereka mampu merebut senjata milik penjajah hingga kemudian benar-benar pergi dari bumi pertiwi yang amat kita cintai.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka adalah bebas; berdiri sendiri; tidak terkena atau terlepas dari tuntutan; tidak terkait, tidak bergantung pada pihak tertentu. Yang perlu digaris bawahi di sini adalah terlepas dari tuntutan. Mengapa? karena hakikatnya, jika dapat disadari begitu banyak rakyat Indonesia di abad ke dua puluh satu ini yang masih terkungkung akan masa penjajahan. Padahal, mereka sendiri tidak pernah melihat sosok serdadu penjajah itu seperti apa. Tapi justru malah mereka yang terbelenggu akan rasa yang tanpa mereka sadari bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya berpihak pada Bangsa Indonesia.
Kemiskinan di mana-mana, tikus-tikus berdasi merajalela, kasus-kasus narkoba dan pelecehan seksual tak asing juga terdengar di telinga. Miris rasanya jika melihat fakta yang tidak bisa diragukan lagi kebenarannya, bahwa kemerdekaan benar-benar hilang. Banyak yang terlena akan kebebasan namun banyak juga yang tidak paham akan kemerdekaan. Terlebih, rasa yang membelenggu dalam diri dibiarkan bersemayam anteng dalam jiwa-jiwa rapuh akan semangat juang.
Jika dahulu, penjajah berasal dari negeri asing. Sekarang, esok atau lusa bisa jadi penjajah itu adalah diri kita sendiri. Tanpa kita sadari, bahwa sesungguhnya itulah penjajah paling kejam dari yang pernah ada.
Baca juga: Kolom Boyke Pribadi: Bebas, Merdeka, dan Bangga Menjadi Indonesia
Begitu banyak jeritan-jeritan bumi pertiwi yang semakin lama semakin membisu, mereka pun muak akan jeritan-jeritan mereka sendiri. Yang berdasi, hanya ongkang-ongkang kaki sambil memakan uang anak-anak negeri yang seharusnya menjadi hak abadi para generasi negeri. Hasilnya, banyak anak-anak muda bahkan anak-anak kecil kehilangan rasa ingin belajarnya dan beralih menjadi gelandangan.
Bahkan lebih miris lagi mereka memilih hidup dengan mencuri atau menjambret, akhirnya timbul masalah yang semarak kini yaitu begal motor. Pelakunya tidak lain ialah para geng-geng motor anak muda yang entah apa tujuannya. Namun, jika hanya kurangnya pendidikan menjadi alasan utama, rasanya masih rampung.
Karena yang masih mengenyam seragam/sekolah pun tidak luput akan perilaku jahiliyah. Tidak sedikit pelajar yang melanggar aturan sekolah, tidak menghormati orang tua dan guru, melecehkan teman, merokok, menonton video porno dan lain sebagainya. Tentu, ini tidaklah pantas disebut sebagai merdeka. Jelas saja, jiwa-jiwa penghuni negeri ini masih terkungkung akan kesombongan. Banyak yang terlena bahkan terlalu enggan untuk memahami apa itu kemerdekaan dan seberapa penting arti kemerdekaan tersebut.
Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas itu semua? Siapa yang akan menampung air mata kesedihan tanah air kita ini?
Tidak adil juga jika satu orang dijadikan kambing hitam. Indonesia adalah negara yang didominasi oleh generasi-generasi muda. Menurut BPS tahun 2017 jumlah penduduk remaja Indonesia mencapai sekitar 68%, itu artinya bahwa pemilik negeri ini adalah para generasi muda. Bahwa merekalah pemegang kendali mau dibawa kemana negeri ini; maju, mundur atau bahkan hancur.
Namun sayangnya, justru pemeran utama dalam berbagai peristiwa menyimpang didominasi oleh generasi muda. Radikalisme, tawuran, pelecehan seksual, perampokan dan perbuatan nista lainnya adalah remaja dengan tokoh utamanya. Mengapa demikian? Lantas bagaimana nasib anak cucu kita yang akan datang? Tidak usah heran jika goncangan dahsyat akan benar-benar melanda negeri kita, tanah air tumpah darah kita ini.
Maka di sinilah perlu dibangkitkan kembali jiwa-jiwa yang telah tertidur lama, yang telah membiarkan diri mereka sendiri dijajah oleh kebodohan.
Baca juga: ‘Voice’ Hilal Ahmad: Yakin Sudah Merdeka?
Generasi muda adalah emas bangsa, bibit unggul yang satu-satunya pemegang kendali negeri ini, Indonesia. Peran pemerintah, termasuk guru di dalamnya sangat diperlukan dalam membangunkan jiwa-jiwa muda yang tertidur lelap. Menyadarkan betapa pentingnya arti kemerdekaan. Sungguh betapa berharganya makna kebebasan yang selama ini telah nenek moyang kita wariskan melalui teks proklamasi di tujuh puluh dua tahun yang lalu, bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945.
Mari bangun dan rebut kembali “kemerdekaan” kita yang telah lama hilang. Ditelan kebodohan dan pengkhianatan para tikus-tikus berdasi di atas kursi yang empuk. Generasi mudalah, yang kini harus bangun. Menghargai waktu, menghormati ilmu dan menjunjung tinggi nilai juang dalam diri agar memegang kendali negeri yang kita cintai ini. Karena penjajah paling nista adalah kebodohan yang menyelubungi diri dan enggan untuk melepas belenggunya.
Maka semua unsur dalam bangsa ini harus juga bangkit begitu juga abdi negeri yang kini berada dibalik meja mewah di dalam ruangan ber-AC termasuk guru-guru yang kerap kali mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Sampai kepada aparat-aparat negara yang selalu gagah dengan seragam serdadunya. Semua bersatu, membangun generasi muda emas, hingga kelak, di era kemajuan teknologi yang begitu pesat, kita sudah merebut kembali kemerdekaan yang telah lama hilang.
Anak muda adalah kunci utama. Masa keemasan yang dapat menentukan sebuah impian besar untuk negara untuk bangkit dan mulai menghargai arti kemerdekaan seutuhnya. Anak muda, tidak lagi akrab dengan kebodohan-kebodohan yang digurui oleh rasa malas.
Masa depan sebuah negara dilihat dari seberapa emas generasi mudanya. Untuk itu, dengan mempertahankan kemerdekaan yang kini telah digenggam, bangunlah pemuda dan pemudinya.
Baca juga: ‘Voice’ Ade Ubaidil: Kanak-kanak Simbol Kemerdekaan
Dimulai dari dini. Generasi emas akan menghasilkan sejarah yang gemilang. Anak muda yang cerdas akan menghasilkan masa depan yang cemerlang. Dari generasi muda yang brilian jugalah akan lahir dari mereka bibit-bibit unggul di era modernisasi yang akan datang. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa anak muda adalah pemegang kendali utama suatu negara.
Tentu saja, jika pemegang kunci kendalinya tidak dapat membuka segala peluang kemajuan untuk negara, maka selamanya kemajuan itu akan tertutup bagi Bangsa Indonesia. Menuntut ilmu dan mengamalkannya adalah cara konkret dalam mempertahankan kemerdekaan yang hakiki. Karena dengan ilmu maka kebodohan dapat kandas dalam diri para generasi muda.
Bahkan bukan hanya generasi muda, semua kalangan pun memerlukan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan kemerdekaan. Bukan juga hanya dengan pengibaran Bendera Merah Putih yang dilaksanakan satu tahun sekali untuk memperingati kemerdekaan Bangsa Indonesia. Melainkan setiap saat, setiap waktu, kita harus mempertahankan dan tentunya memperingati kemerdekaan. Menyatukan jiwa-jiwa muda untuk Republik Indonesia merdeka.
(Artikel ini merupakan Juara 1 Lomba Penulisan Artikel yang diselenggarakan oleh biem.co dengan tema Anak Muda dan Kemerdekaan).
Restiana, lahir di Pandeglang, pada tanggal 9 Agustus 2000, memiliki hobi menulis sejak kelas satu SMP (MTs). Sekarang, bersekolah di SMA Negeri 2 Pandeglang dan duduk di bangku kelas XII IPS. Prestasi yang pernah ia raih yaitu : Juara 3 Cipta Puisi Tingkat Kabupaten, Juara 1 Menulis dan Membaca Cerita Remaja Islami Tingkat Kabupaten dan di bidang akademik ia pernah meraih Juara 3 Lomba OSN Geografi Tingkat Kabupaten.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.