Oleh Nasrullah Alif
“Sudikah kiranya kau, mengizinkan diriku untuk sejenak
Berkunjung ke dalam hatimu, pastikan kau ada disana”
Lagu itu sudah mengalun-ngalun sedari malam tadi. Menjelang subuh, lelaki itu masih saja menatap layar smartphone-nya itu. Tak sedikit pun rasa kantuk ia rasakan. Baginya, pesan yang tak terbalas itu lebih penting dari apapun. Karena lelaki itu sedang tertarik dengan sang lawan pesannya itu. Seorang perempuan aneh yang tiba-tiba saja datang, lalu bercerita, serta merta hilang tanpa permisi. Bagi lelaki itu, ia tak bisa mengalihkan yang sudah terjadi. Ia menjadi penasaran, dan ingin terjatuh dalam agar rasa penasaran itu mati.
Sayangnya, lelaki itu tak ulung untuk mengolah rasanya terhadap perempuan.
—
Esok harinya perempuan itu kembali mengirim pesan singkat terhadap lelaki itu. Lelaki itu melihat layar smartphone-nya, lalu dengan sigap ia siap-siap membalas. Tetapi, ia tahan hasratnya kemudian. Baginya, elegan juga harus di jungjung tinggi, karena ia adalah lelaki. Setelah menunggu barang lima menit, ia balas dengan sigap. Tentu, dengan gaya elegan dan tidak gagap.
Ia ketik satu kata, lalu berlanjut ke kata lain. Ia mengalir, menganggap itu seperti bermain. Perempuan itu terus bercerita, dan sang lelaki terus menjawabnya dari satu kata, lalu pindah ke lain kata. Lelaki itu sadar, ia sudah jatuh kedalam palung terdalam. Ia mungkin terlena, dan jatuh cinta seperti bintang kepada malam.
Tetapi, ia sadar akan sebuah realita. Perempuan itu datang, dan kini menghilang tanpa kata.
—
Lelaki itu tetap saja sabar saat perempuan itu kembali mengirimkan pesan, seperti tak pernah memikirkan perasaan dari si lelaki. Bodohnya, sang lelaki tetap saja dengang suka hati menerima, tanpa memperdulikan diri. Baginya, ia harus membunuh rasa itu sampai mati. Perempuan mulai bercerita kembali, yang kini ia ceritakan tentang dirinya. Mulai dari rupanya, wajanhya, sikapnya, lalu juga kesukaanya. Lelaki itu tetap saja membalas pesan singkat perempuan dengan khidmat, dari satu kata ke lain kata.
Perempuan itu juga bercerita perihal mantan kekasihnya, yakni seorang lelaki pembual yang jago memainkan kata-kata. Perempuan itu muak tak terkira, saat menceritakan bagian mantan kekasihnya dulu masih dengannya. Hawa itu sampai walau hanya melalui pesan. Sang lelaki mencoba menghibur. Karena sejatinya, perempuan butuh penenang, juga pendengar setia. Perempuan itu berterima kasih. Lelaki itu juga ikut senang, merasakan kebahagiaan walau sedikit.
Walau lelaki itu sadar, perempuan itu kini menghilang lagi.
—
Keesokan harinya perempuan itu tak mengirim pesan lagi, atau sekedar menyapa seperti biasanya. Lelaki itu kini resah. Ia merasakan gulana, gundah tak terkira, sampai mungkin tak berganti. Nuraninya berkata, ia harus mencari perempuan itu.
Sadarnya ia, bahwa bayang perempuan itu kini bersarang dan tumbuh.
—
Mulai dari kawan, tetangga, hingga orang di pinggir jalan yang sekiranya ia kenal. Ia terus saja bertanya, tanpa sedikit pun merasakan malu. Malunya ia, saat ia acuh tak peduli. Rasa ini tak sebercanda itu, kawan balasnya saat seorang menyuruhnya berhenti. Orang-orang sampai mengira ia gila. Bagaimana tidak? Ia hanya mencari seseorang tanpa nama, yang bahkan rupanya saja masih samar. Aneh sekali. Tak ayal, orang-orang mulai prihatin dengannya. Menganggap sang lelaki berhalusinasi, efek dari kesendiriannya yang lama, sampai ia menjadi nestapa.
Lelaki itu tetap teguh. Hasratnya belum runtuh, karena ia yakin perempuan itu masih ada untuk ia temukan. Ini hanya masalah waktu.
—
“Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati”
Lagu itu tetap saja mengalun, tanpa pedulikan manusia yang mendengar di sekeliling. Bagi radio itu, ia akan tetap mengalun sampai sang pemilik mematikannya, atau hancurkannya sekalian. Itu sudah menjadi takdirnya.
Seorang lelaki berjalan dengan langkah perlahan, dengan sepatu butut tua tahun 90-an. Ia mendekati seorang perempuan muda yang sedang bersantai di pinggir sungai, khidmat dengan sekelilingnya.
Perempuan muda itu menoleh, bertatap muka dengan sang lelaki.
Lelaki itu lalu dengan nafas panjang yang ditariknya, lalu bibirnya mengucapkan beberapa kata pelan, jika diartikan akan menjadi seperti ini ;
“Jadi, engkau kah itu? Perempuan pemakai kacamata?”
Berita Terkait :
Cerpen Alfian Putra Abdi: Gadis Pemburu Ketenangan
Sajak-sajak Uthera Kalimaya
Rumah Hutan, Tempat Wisata Alam yang Unik nan Indah di Kota Serang, Yuk, Piknik!
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.