biem.co – Hiruk pikuk kehidupan modern saat ini menjadi permasalahan yang semakin rumit, di mana manusia di era digital sekarang ini tidak pernah berhenti untuk menimbulkan sensasi-sensasi yang benar-benar tidak bermutu. Seharusnya, jika manusia adalah mahluk yang paling sempurna, justru manusia harus mempunyai ideologi yang benar-benar bermutu, bukan menimbulkan sensasi yang tidak bermutu. Tetapi nampaknya saat ini ideologi hanyalah sebuah kata kiasan saja, karena ideologi sudah dijadikan barang yang pada awalnya digunakan sesaat, kemudian dilemparkan begitu saja ke tong sampah.
Tanpa disadari, manusia memang menganggap ideologi tidaklah begitu penting, mengingat yang lebih penting hanyalah materi. Kini, peradaban manusia seolah kembali ke abad 19, di mana paham-paham matrealisme disembah layaknya Tuhan.
Kesepakatan-kesepakatan intersubjektif antar masyarakat ternyata membawa permasalahan yang semakin pelik. Misalnya, kemunculan norma-norma baru yang benar-benar mendehumanisasi manusia, dan hal itu terkadang sangat sulit untuk disadari oleh kita semua. Proses untuk mendehumanisasi peradaban manusia juga bisa dibentuk melalui informasi atau tayangan yang sering berada di dunia pertelevisian, karena di samping masyarakat yang kurang cerdas menyikapi tayangan tersebut, di satu sisi juga, justru dunia pertelevisian saat ini nampaknya tidak mempunyai tanggung jawab sosial yang begitu baik.
Misalnya, pada 16 April 2018 kemarin Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan teguran kepada beberapa televisi di Indonesia. Teguran tersebut tentunya tidak bisa dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak penting, sebab teguran itu berfungsi untuk mengembalikan fungsi media massa yang salah satunya adalah sebagai pendidikan dan kontrol sosial. Oleh karenanya, pertelevisian Indonesia, harus benar-benar menjadi agen perubahan sosial yang berguna untuk mencerdaskan bangsa, bukan untuk menghancurkan intelektual bangsa Indonesia.
Mayoritas televisi-televisi yang ditegur oleh KPI dikarenakan tayangan-tayangannya yang kurang mendidik dan kurang memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Memang di satu sisi, tayangan-tayangan tersebut bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, tetapi dalam sistem pers yang mengutamakan social responsibility (tanggung jawab sosial) tayangan tersebut tidak seenaknya dilakukan secara sengaja, apalagi tindakan-tindakan itu dilakukan saat siaran langsung. Dan sangat disayangkan lagi, saat ini dunia pertelevisian Indonesia menerapkan paham zelotisme.
Menurut Mangunhardjana (dalam Nurudin, 2009: 258-259), orang yang berhasrat memenuhi kebutuhan, meraih sampai merebut sesuatu sesuai kebutuhan atau keinginan dirinya sering disebut dengan zelotes. Sedangkan jika zelotes dijadikan suatu paham, pendirian bahkan keyakinan disebut dengan zelotisme. Pertelevisian Indonesia saat ini benar-benar menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Nahasnya cara-cara tersebut begitu menjijikan, justru membuat kualitas dan mutu pertelevisian Indonesa semakin terdegradasi.
Hiburan-hiburan di pertelevisian Indonesia semakin tidak terkendali, kata-kata yang tidak mendidik pun sepertinya sudah menjadi hal-hal lumrah sebagai bahan tertawaan, sehingga pada umumnya masyarakat menjadikan hal tersebut sebagai hal yang sangat wajar. Belum lagi, permasalahan eksternalisasi dari pihak luar yang sering timbul dengan cara mengintervensi berita-berita yang provokatif, dan tendensi pertelevisian Indonesia juga sering menjadi cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Maka dari itu, sudah seharusnya pertelevisian Indonesia membuat terobosan-terobosan yang dapat mencerdaskan bangsa dengan mengutamakan hiburan yang bermutu, berita yang tidak tendensi, dan tidak membuat gaduh politik.
Ilham Akbar, adalah Mahasiswa Universitas Serang Raya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public Relations, Semester 6.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.