Cerpen

Cerpen Ken Hanggara: Kabur

biem.co — Suatu hari aku kabur dari rumahku yang penuh dengan binatang. Aku tidak mampu tinggal lebih lama, meski sebenarnya dulunya rumah tersebut adalah milik ibuku. Tapi, ibuku mati di suatu subuh yang dingin. Kata orang, sebenarnya ibuku mati jauh sebelum itu dan tentunya pada saat kutemukan, tubuhnya sudah benar-benar beku. Bagaimana di rumah ini bisa tidak ada yang tahu sama sekali kalau ibuku mati sejak dua hari sebelum ditemukan adalah karena beberapa binatang mulai masuk dan menghuni rumah kami.

Beberapa binatang itu tidak seperti binatang pada umumnya yang bisa kutemukan di jalanan. Mereka cukup berbeda dan mempunyai otak serupa otak manusia, sebab ada yang bisa bermain gitar, ada juga yang bisa menyetir mobil, dan bahkan beberapa dari mereka bisa menghajarku setengah mati.

Aku tak berani melawan para binatang yang tahu-tahu menguasai rumah ibuku itu. Bukan hanya karena jumlah mereka lebih banyak dan tenaga mereka lebih besar dariku, melainkan juga karena ayahlah yang membawa mereka kemari.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Ayahku bukan pawang binatang, tetapi mengerti bahasa binatang dan bisa dengan cepat memenuhi rumah kami dengan para binatang yang bau. Aroma seluruh ruangan di rumah pun berubah memualkan, kecuali satu-satunya tempat yang tidak akan pernah bisa mereka masuki, yakni kamarku.

Kamarku memang jadi tempat terbaik sebelum kamar Ibu. Hanya saja, kamar Ibu tidak lagi senyaman dulu setelah lebih dari tujuh ekor binatang diundang masuk kemari oleh Ayah, yang mengancam akan menghajarku sampai mati jika aku menentang semua tamu yang kubenci itu. Ibu sendiri juga sebenarnya benci mereka, tetapi dia tak berdaya, sebab ibuku sakit keras.

Nah, suatu ketika aku tidak boleh bertemu ibuku, karena dia dibawa ke rumah sakit gara-gara sakitnya kambuh. Ibuku dibawa oleh seekor binatang ke rumah sakit, padahal aku tahu kalau si binatang itu agak bodoh dan suka bermabuk-mabukan. Jadi, aku terus saja berdoa agar ibuku selamat sampai tujuan dan supaya binatang itu saja yang musnah dari muka bumi ini.

Tentu, doaku yang kusampaikan dengan buru-buru dan penuh rasa curiga padaNya tidak dikabulkan. Ibuku memang tidak kenapa-napa, tetapi binatang itu bisa kembali ke rumah kami dengan selamat, dan dia hanya berkata, “Sudah kuserahkan semua urusan ke Pak Dokter!”

“Baguslah!” jawab ayahku singkat.

Sejak itu aku tidak ketemu Ibu. Sejak itu, katanya, Ibu tetap berada di rumah sakit dan tidak bisa dijenguk untuk beberapa lama. Aku tidak tahu betapa sebetulnya Ibu tak pernah benar-benar dirawat di sana, sebab si binatang itu membawanya kembali ke sini gara-gara tidak membawa uang untuk berobat. Rumah sakit menolak Ibu, dan akhirnya si binatang menidurkan ibuku di dapur yang jarang terpakai.

Para binatang itu, beserta ayahku tentunya, makan dari makanan yang mereka pesan di luar, jadi dapur tidaklah terpakai dan Ibu tetap di sana sampai meninggal dan baru kutemukan pada suatu subuh yang dingin dua hari kemudian. Pengantar makanan yang biasa mengantarkan pesanan Ayah suka mengumpat-umpat tiap pergi dari halaman rumah; aku bisa melihat orang itu dari jendela kamarku di lantai dua.

Sesudah itu selalu ada yang mengetuk pintuku untuk memberiku makan, yang tidak lain adalah salah satu binatang yang kemudian kukenali sebagai Nina. Pada saat yang sama, aku tetap berpikir bahwa ibuku sedang dirawat di rumah sakit, padahal sebenarnya dia meregang nyawa di dapur.

Begitu tahu ibuku mati dan betapa semua itu terjadi gara-gara ketololan Ayah dan binatang teman-temannya yang menguasai rumah ibuku secara tidak sopan, aku marah dan kabur ke mana saja yang dapat kupikirkan. Aku kabur dua hari setelah berdiam diri di depan Pak Polisi yang menjelaskan semua dan mencoba membuatku tenang dengan kabar bahwa Ayah bisa saja terancam kena hukuman gara-gara berbuat lalai. Sayangnya, aku tetap tidak tenang dan tidak bisa tinggal di rumah ini sendirian. Jadi, pada akhirnya aku pun benar-benar pergi.

Pada saat kabur itu, aku pikir tidak ada yang tahu usahaku, tetapi Nina diam-diam mengikutiku di belakang, dan baru kusadari keberadaan perempuan itu setelah aku tiba di tempat yang cukup jauh. Di stasiun kereta itu, malam sudah sangat larut dan aku pun kaget karena binatang itu tahu-tahu menerkamku dari belakang dan memintaku untuk tutup mulut.

“Aku tidak mau kena perkara. Aku tidak salah, tapi mungkin saja teman-temanku yang sial itu menuduhku berbuat apa-apa pada ibumu,” katanya dengan berbisik. Lantas, si Nina menoleh ke sana kemari, dan melanjutkan setelah suasana agak aman buatnya, “Sebenarnya aku tahu ibumu sudah mati dari sejak ditolak pihak rumah sakit itu, tetapi ayahmu terus-terusan mabuk dan memukul kepalaku tepat di sini biar aku diam saja dan cukup melayani semua orang di rumah. Benar-benar gila!”

Aku tidak percaya pada Nina dan tetap saja bagiku dia sama saja dengan binatang- binatang yang dibawa pulang ke rumah oleh ayahku. Tetapi, dia terus-terusan berbisik ke telingaku dan akhirnya aku kesal dan menyebutkan secara terang-terangan padanya, bahwa selama ini aku menganggap mereka tak ubahnya binatang.

“Tega benar kamu, ya,” tukas Nina dengan tampang yang sedih.

Kemudian kusampaikan alasanku bahwa mereka memang hidupnya bagai binatang saja, dan bahkan lebih menyedihkan, sebab tidak punya kegiatan dan tidak memberikan manfaat pada lingkungan sekitar. Nina malah menangis dan kemudian memelukku, lalu minta maaf kepadaku.

“Orang-orang boleh menyebutmu bodoh dan sinting,” bisiknya dengan terisak-isak, “tapi aku tidak. Aku melihatmu sebagai anak yang istimewa.”

Sesudah itu, tidak tahu apa saja yang dikatakan oleh Nina, karena aku cukup capek dan ingin segera tidur. Kami pun mencari tempat yang hangat untuk tidur dan berbaring di sana tanpa berbicara. Tetapi, suara anjing di kejauhan dan klakson motor dan mobil di jalanan yang tidak jauh dari stasiun itu membuatku tidak tenang. Akhirnya aku berdiri dan berjalan ke ruang tunggu stasiun yang cukup sepi.

Tubuhku basah kuyup gara-gara hujan barusan. Nina terus membuntutiku sambil bernyanyi lagu-lagu aneh dengan suara yang pelan. Kuperiksa loket yang kosong. Kuperiksa juga toko-toko makanan di sekitar situ; semua tutup. Lalu aku berdiri di dekat garis yang ada di dekat rel. Aku berdiri saja dan berharap ada kereta berhenti dan aku bisa segera naik.

“Kamu tidak punya tiket. Untuk naik kereta, kamu harus beli tiket,” kata Nina yang tidak juga berhenti membuntutiku. Tetapi, menurutnya, tempat ini tidak bisa kami pakai untuk kabur. Sebab ini stasiun lama yang sudah tidak difungsikan. Jadi, percuma saja di sini menunggu kereta. Tidak ada tiket apa pun. Tidak juga ada kereta yang berhenti.

“Jadi, percuma saja,” katanya lagi, setelah aku tetap berdiri dan tidak menoleh.

Maka, tidak berapa lama, kami pun hengkang dari stasiun itu dan berjalan lagi, tapi kali ini menyisiri rel dan terus saja berjalan ke arah barat. Kami berjalan dan berjalan ke arah sana, yang kuyakin akan sampai di sebuah rumah yang tidak jauh dari rel kereta api, sebuah rumah yang dihuni oleh nenekku yang baik hati dan penyayang binatang.

“Memangnya, kamu tahu di mana nenekmu itu tinggal?” tanya Nina.

“Aku tidak tahu, tetapi aku sangat ingat rumah Nenek ada di dekat rel kereta api.”

“Aku ada kenalan, guru ngaji, yang baik dan pernah jatuh cinta padaku tapi kutolak. Mungkin kita bisa ke sana. Tidak jauh dari sini, kok,” balas Nina dengan santai.

Tapi, aku menolak usulnya dan kalau memang dia maunya begitu, sebaiknya pergi saja ke sana sendirian. Dan lagi pula aku tidak ingin pergi membawanya juga ke rumah nenekku.

Kujelaskan pada Nina, “Kalau kamu ingin ikut, silakan saja. Aku bisa memberikan dirimu pada nenekku agar dididik dengan benar dan tidak jadi binatang jahat seperti apa yang teman-temanmu alami. Aku bisa membujuk Nenek agar dia mau mengambilmu sebagai teman dekatnya. Tapi, kalau kamu mau pergi ke tempat lain, silakan saja!”

Setelah itu, Nina tidak lagi berbicara. Kami terus berjalan sampai subuh dan tentu saja kami kelelahan dan akhirnya ketiduran di tepi rel, di semak belukar yang membuat tubuhku gatal-gatal sewaktu bangun. Pada saat itu, aku benar-benar sendirian. Tidak ada Nina di dekatku. Dan aku pun meneruskan perjalananku ke rumah Nenek yang tak tahu seberapa jauh lagi. Perutku lapar, tetapi aku terus berjalan sambil menangis karena ingat wajah ibuku. [ ]


KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button