Oleh: Ega Jalaludin (Pemimpin Redaksi)
biem.co – Jika kita bertanya kepada semua mahasiswa tentang apa tujuan universitas tempat ia belajar, kemungkinan jawaban yang sering kita temukan adalah “universitas didirikan untuk menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan”.
Semua cendekiawan tahu bahwa hal tersebut adalah aspek inti normatif dari kebanyakan didirikannya universitas: kapasitas penelitian yang merupakan inti bagi kemajuan pengetahuan manusia, dan mentransmisikan informasi itu kepada dunia, baik melalui penerbitan jurnal atau dalam pengajaran di ruang kelas. Meski diakui, yang terakhir, “menyebarkan di ruang kelas melalui kuliah”, terbukti terlalu tidak banyak yang efektif dan terkesan normatif.
Jika kita ajukan pertanyaan lain, “Apa yang dipelajari oleh seorang sarjana setelah selesai kuliah?”, saya yakin, setiap sarjana akan menjawab dengan memberikan jawaban seperti fisika, manajemen, sosiologi, politik dan literatur komparatif lainnya.
Padahal, alih-alih menawarkan konten mata kuliah yang telah ada di mana-mana, mengapa universitas tidak mendengarkan kebutuhan dunia dan melalui riset-riset yang dilakukan akademisinya mengajarkan kemampuan dan keterampilan yang dianggap benar-benar penting di ruang kelas pada mahasiswanya?
Peran universitas sebagai penyebar informasi tentu sangat berharga di hadapan penerbit jurnal internasional atau pada tingkat yang lebih rendah lagi. Meski tak jarang, informasi ini seringkali dipertanyakan kredibilitasnya, mengingat jurnal-jurnal yang dianggap kredibel pun mudah diakses penulis hanya dengan menggunakan kompensasi (meski) yang tidak murah dan koneksi (tidak sulit jika ada yang pertama).
Akhirnya, hasil penelitian terkesan tidak penting, yang penting adalah kemampuan komersil dan koneksi setiap peneliti.
Universitas sebenarnya tahu apa yang harus dilakukan —dengan mendengarkan apa yang sebetulnya diikrarkan: “berpikir kritis, komunikasi yang efektif, pemecahan masalah, dan pemahaman lintas budaya” adalah hasil yang dihargai secara universal. Kita semua setuju, dan tentu saja semua ingin melihat setiap mahasiswa (setelah empat tahun studi) muncul dengan keterampilan ini. Singkatnya, kemampuan-kemampuan ini lah yang kita sebut dengan satu kata: kebijaksanaan.
Namun, konsepsi kebijaksanaan secara populer selalu terikat dengan visiualisasi mistis dan manusia tua yang tabah, kuno dengan kemampuan pemahaman yang diam dan lembut. Sehingga, asosiasi ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan tidak dapat diakses oleh anak-anak muda atau milenial dan, mengerikannya, seolah-olah ia harus didapat melalui keheningan meditasi yang panjang dan pengalaman seumur hidup.
Padahal, tidak selalu begitu. Kebijaksanaan sejati adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan seseorang secara tepat ketika dihadapkan dengan situasi terbaru, dan universitas dapat mengajarkan kepada mahasiswanya bahwa dengan memperkenalkan konsep kebijaksanaan dan memberi mahasiswa banyak kesempatan sepanjang pendidikan mereka untuk menerapkannya dalam konteks yang berbeda. Semua terasa mungkin dilakukan. Sesederhana itu.
Dalam perspektif psikologi, Menurut Takahashi dan Overton (2002) kebijaksanaan (wisdom) dipahami sebagai “Ekspresi” dari fungsi yang terpadu dari beberapa proses psikologis dalam konteks tertentu. Sedangkan Labouvie-Vief (Sternberg, 2002) mendefinisikan wisdom sebagai landasan operasi intelektual dan biasanya dikaitkan dengan “logos” (alasan) dalam “mitos” (inti dari proses inter dan intrapersonal).
Sementara Kramer (Sternberg,2002) berpendapat bahwa wisdom didasarkan pada relativistik dan dialektis penalaran, pengembangan yang terkait dengan pengembangan yang dapat mempengaruhi regulasi, dan Ardelt (2003) menjelaskan wisdom sebagai kombinasi pada cognitive, reflective, dan affective yang ada pada kepribadian seseorang. Wisdom merupakan perspektif kognitif-perkembangan yang telah terkait dengan proses pemikiran yang memungkinkan seorang mahasiswa untuk beradaptasi terhadap situasi kehidupan terutama menghadapi kondisi yang tak terduga (pasti) dan berbagai kondisi alam.
Setiap universitas dapat menerapkan dimensi “Wisdom” berdasarkan temuan Aldert seperti menekankan aspek Cognitive, pemahaman tentang pemaknaan hidup dan keinginan untuk mengetahui kebenaran, yaitu untuk memahami arti dan makna. Terkati dengan fenomena dan peristiwa, terutama dengan yang berhubungan dengan intra dan interpersonal. Meliputi akan kemampuan pengetahun dan proses penerimaan; aspek Reflective, yakni persepsi terhadap suatu fenomena dan kejadian-kejadian dari berbagai perspektif, serta menghindari penilaian subjektif. Membutuhkan self-examination, self-awareness, dan self-insight; terakhir aspek Affective yakni kemampuan yang meliputi empati dan rasa saling menyayangi disertai dengan motivasi untuk menjaga perasaan orang lain, dan hal ini tentu saja membutuhkan transendensi self-centeredness.
Sebagaimana kita tahu, konsep paling sering ditemukan dalam metodologi belajar di universitas manapun adalah “menghafal”. Akan tetapi, bagaimanapun, membedakan antara fakta dan klaim dalam sebuah subjek asing, negosiasi bisnis yang efektif dalam kesepakatan bisnis, serta menoleransi budaya-budaya yang baru adalah bentuk kebijaksanaan.
Karena itu semua, kebijaksanaan, diterima atau tidak, memang harus diajarkan. Tentu saja itu tidak dapat diberikan secara accidentally atau sebagai kurikulum sampingan dari pengajaran materi kuliah. Hal itu membutuhkan pengidentifikasian asas-asas yang menopangnya dan dengan disiplin mengkontekstualisasikan ulang, sehingga mahasiswa dapat mengembangkan kedalaman penguasaan dan keluasan penerapannya setelah gelar sarjana diraihnya.
Jika universitas ingin berhasil dalam misi yang dinyatakan bersama “menciptakan dan menyebarkan pengetahuan”, maka setiap lembaga harus fokus mendesain ulang kurikulumnya. Kurikulum yang memiliki dimensi cognitive, reflective, dan affective. (bigthink)
Selamat membijak. ^_^