Skriptoria: Jalaludin Ega (Pimpinan Redaksi)
Feminism dan Perempuan dalam Sejarah
Berbagai penerimaan tentang feminism, menurut saya, selalu saja salah menghadirkan penekanan makna dan tujuannya. Sebagian orang menganggap bahwa feminism adalah gerakan dan upaya untuk mendapatkan kesetaraan dan persamaan derajat perempuan dengan laki-laki secara kuantitas (fifty-fifty), yang mana kemudian dimaknai seolah-olah untuk mencapai equality-feminitas seorang feminis diwajibkan men-dekontruksi maskulinitas (‘mengebiri’ laki-laki).
Saya sendiri memaknai feminism tidak hanya soal perjuangan emansipasi perempuan di hadapan laki-laki, akan tetapi juga soal bagaimana lingkungan harus menyuguhkan hak yang sama tanpa ‘label diskriminasi’ baik itu yang disumberkan dari agama, kebiasaan atau sejarah. Menjadi feminis berarti bersedia memperbaiki gap-relasi yang ada pada gender, bukan memperkuat salah satu dengan mengorbankan lainnya.
Dalam perspektif hukum, misalnya, menurut saya, feminism dimaksudkan sebagai bentuk legal reasoning yang harus dihadirkan dalam filosofi konsideran setiap undang-undang yang dibuat oleh pemangku kebijakan. Bukan hanya soal kuantifikasi, tapi lebih kepada kualitas teknisnya. Ini akan terasa berkeadilan, karena sadar atau tidak sebetulnya laki-laki juga memiliki masalah penderitaan yang sama, yang lahir dari dominasi, eksploitasi serta represi sistem yang tidak adil.
Pendidikan, setuju atau tidak, pemilihan sekolah untuk tiap pendidikan anak selalu saja dilataberlakangi oleh pemikiran orang tua di masyarakat. Bukan soal sekolahnya, tapi soal prioritas. Jika sebuah keluarga memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan dan keluarga memiliki dana yang terbatas, maka orangtua akan mengutamakan anak laki-laki untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena dianggap akan bertanggung jawab atas keluarganya. Anak laki-laki selalu diprioritaskan untuk sekolah lebih tinggi karena akan jadi pencari nafkah, sementara perempuan disekolahkan dengan target “setelah lulus menikah,” jadi untuk apa sekolah terlalu tinggi. Dalam hal pemilihan jurusan misalnya; perempuan selalu diarahkan ke ilmu keguruan/sastra sedang laki-laki ke teknik atau hukum. Asumsi itu ada dalam masyarakat. Itulah yang kemudian menyebabkan ketidaksetaraan perlakuan hak antara laki-laki dan perempuan. Asumsi itu pula yang menyebabkan tingkat drop out (DO) anak perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini terutama terjadi di kampung-kampung.
Feminism lahir sebagai sebuah kebangkitan perempuan dan sebagai reaksi untuk menggeser anggapan dan status makhluk kedua setelah laki-laki. Gerakan ini berkembang di Eropa pada abad pertengahan. Dimana sejarah mencatat, pada periode ini perempuan dianggap tidak rasional karena selalu menggunakan perasaan sebagai tolak ukur, dan laki-laki diciptakan hanya untuk melindungi dan mengatur kepentingannya. Perempuan tidak harus bekerja, kewajibannya hanya memasak dan membesarkan anak. Lebih mengerikan lagi, karena pengaruh dogma gereja pada abad itu, perempuan dianggap sebagai jelmaan iblis yang harus dikendalikan dan dimusuhi. Keadaan ini yang kemudian membuat reaksi di kalangan filsuf Eropa lalu memberikan kritiknya terhadap kebijakan-kebijakan gereja yang dianggap diskriminatif. Mirisnya, sisa-sisa itu diteruskan sampai hari ini, dalam benak sebagian agamawan, ‘surga (saja) yang dijanjikan Tuhan untuk perempuan (katanya) ditentukan oleh laki-laki’.
Saat itu, kelompok perempuan secara diam-diam memulai gerakan kecil untuk menentang dominasi laki-laki, khususnya pada diskriminasi hak yang diakomodir dalam konsideran kebijakan negara dan lingkungan. Akhirnya, pada sekitar abad ke 16 tokoh-tokoh seperti Susan Anthony dan Elizabeth Cady dapat mempelopori gerakan-gerakan kebangkitan melalui surat kabar The Revolution, dengan visi inti; bagaimana perempuan harus memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengembangkan diri baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan pendidikan.
Saya ingin menghadirkan sebuah kisah hellenik kuno, dan berbagi kepada Anda, di mana ternyata telah sejak lama, “hukum” dalam proses ‘persalinannya’ selalu menempatkan perempuan sebagai objek kelas dua. Pada beberapa kasus bahkan perempuan dianggap tidak pernah ada. Kita bahkan tahu, pada masa awal demokrasi berkembang di Yunani, aturan demokrasi hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Dalam hal pernikahan, poligami yang dipercaya oleh beberapa agamawan sebagai perintah Tuhan, sebetulnya adalah warisan budaya zaman pra-islam, karena di Arab Saudi seorang laki-laki boleh memiliki istri dua puluh atau lebih banyak lagi, terutama jika ia seorang raja, bangsawan atau hartawan. Keadaan Arab saat itu tidak berbeda dengan Romawi pada abad ke 7 M, di mana perempuan selalu dipandang sebagai barang milik kaum laki-laki dan dapat diperlakukan sebagaimana kehendak laki-laki.
Kisah yang akan tersaji semoga dapat memberikan kita gambaran bahwa ternyata hukum yang seharusnya menjadi panglima tertinggi kesetaraan hak, telah direproduksi dari awal dengan intellectual origin (dasar pemikiran) bahwa ia hanya mengatur laki-laki. Bagi saya khususnya, ini menjadi sebuah penghinaan terhadap eksistensi perempuan, yang padahal, bahkan dalam beberapa kisah besar yang terabadikan perempuan selalu menjadi aktor penting sebuah peradaban.
Tengok saja bagaimana Asiyah binti Muzahim (istri Fir’aun) yang “doanya” Tuhan abadikan dalam kitab suci; Siti Maryam yang menanggung derita, -demi sebuah peradaban baru,- melahirkan Isa al-Masih yang namanya juga Tuhan abadikan (bahkan) dalam dua kitab suci; lalu Khadijah, perempuan yang tak pernah masam wajahnya sedetikpun yang berjuang bersama nabi SAW; atau deretan kisah Siti Hajar yang kemudian diabadikan dalam ritual ibadah haji sebagai bentuk kekuatan sejati perempuan. Masih banyak lagi; ada Siti Fatimah, Ummu Anas, Rabiah Adawiyah, Siti Zubaidah; di Indonesia ada Cut Nyak Dien, Cut Meutia, RA Kartini, dan akan sangat banyak jika kita menuliskannya dalam deretan catatan.
Mereka semua, menginformasikan kita bahwa perempuan sebetulnya memiliki peran yang juga besar dalam peradaban. Jika pada masa sekarang kemudian peran itu kita lupakan begitu saja hanya karena relasi-kekuasaan selalu surplus pada laki-laki dan cenderung defisit pada perempuan, maka pantaslah saya jika menyebut “kita telah melecehkan perempuan dan peradaban”.
Medusa, Seorang Perempuan
Syahdan, Medusa adalah seorang perempuan yang mencintai ilmu pengetahuan. Ia sangat rajin membaca. Suatu hari menjelang senja ia membaca sebuah buku, duduk di samping perpustakaan Kota Athena yang tepat berada di pinggir laut. Setelah membaca, ia beristirahat dan kemudian mengenakan bikini untuk berenang, lalu kembali ke tempatnya semula untuk membaca.
Tiba-tiba dari arah laut datang gelombang besar, lalu muncul sesosok laki-laki berperawakan tinggi besar bertubuh atletis, Poseidon. Ia melihat Medusa sedang mengenakan bikini sambil membaca sebuah buku penuh dengan penghayatan.
Karena tertarik pada siluet sesosok perempuan yang seksi dan menggairahkan itu, naluri Poseidon yang sakit kemudian mengatakan bahwa jika seorang perempuan di pinggir laut, sendirian, mengenakan bikini, artinya “ia minta disetubuhi”. Dengan sadar dan sengaja, Poseidon kemudian memperkosa Medusa.
Sebagai seorang perempuan yang memiliki kekuatan fisik terbatas dan lebih kecil dari Poseidon, Medusa tak dapat menghindar, ia menyerah dan dengan terpaksa melayani nafsu bejat Poseidon yang sudah tak mampu diajak bicara. Logikanya tertutup, nafsunya membuncah dan libidonya tak bisa dibendung.
Medusa protes. Ia marah. Merasa keberatan karena ia tak kenal dengan Poseidon dan akan menuntutnya karena telah berlaku kurang ajar. Namun, Poseidon membela diri dengan dalih, “Saya tahu Anda sedang membaca puisi roman dan anda terangsang karena puisi itu,” dan dengan asumsi itu “saya kemudian menyetubuhi Anda”.
Medusa kemudian melaporkan Poseidon kepada penyidik Athena, yang ternyata juga adalah Walikota Athena, Paris Athena. Namun, karena legal reasoning hukum di Athena saat itu hanya untuk mengatur laki-laki yang berselisih, Paris Athena menolak tuntutan Medusa, dan berkata, “Tidak mungkin anda diperkosa oleh Poseidon, Anda pasti menggodanya dengan puisi roman sambil mengenakan bikini.”
Karena keputusan itu, maka jatuhlah hukuman pada Medusa. Ia dianggap telah melanggar aturan Athena, yaitu ‘menampilkan emosi dan gestur tubuh yang mengundang perkosaan’.
Medusa, yang wajahnya cantik, pikirannya cerdas, dan suaranya indah kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum hanya karena tidak ada aturan yang tersedia untuk perempuan, saat itu.
Meski terdapat beragam versi, namun sejarah dewa-dewa hellenik kemudian mencatat bahwa hukuman atas Medusa adalah; rambutnya yang ikal-indah dikutuk dan kepalanya ditumbuhi ular, mata sayu-sewarna-hujannya yang dianggap sebagai jendela kemaksiatan itu ikut dikutuk menjadi mata-api dan siapapun laki-laki yang menatap mata itu akan berubah menjadi batu. Semua laki-laki di Athena merasa ketakutan dan terancam, menghidar dari tatapan mata Medusa.
(Kita bisa merasakan kepedihannya; bagaimana ia, sebagai seorang perempuan disiksa karena dianggap telah menggoda seorang laki-laki yang (padahal) sengaja telah memperkosanya).
Kepanikan besar terjadi. Semua laki-laki di Athena merasa resah dan lari tunggang langgang saat bertemu dengan Medusa. Mereka khawatir terkena tatapan mata-apinya. Karena itulah kemudian Medusa dijadikan target operasi. Pemerintah Kota Athena merasa ia harus dilenyapkan karena telah menjadi monster bagi Kota Athena (Monster of Athene).
Para petinggi di Athena mencari cara untuk melenyapkannya, namun tak seorang laki-laki pun yang berani dan sanggup membunuhnya. Sampai suatu hari, seorang laki-laki yang dianggap pahlawan, Putra dari Zeus, bernama Perseus dengan sebuah pasukan, ditugaskan untuk membunuhnya. Tugas Perseus tidak hanya membunuh, ia harus membawa kepala Medusa ke hadapan Paris Athena. Agar matanya tidak disalah-gunakan orang lain yang ingin menyerang Athena.
Pertarungan terjadi. Puluhan tentara Perseus menjadi korban mata-api Medusa. Bahkan, berkali-kali Perseus pun hampir membatu terkena sorot mata-api itu. Perseues sadar, ia tak mampu mengalahkan Medusa dengan cara biasa. Sampai suatu waktu ia berencana untuk mengendap-endap dan mencari tahu kelemahan Medusa.
Perseus akhirnya tahu, ternyata, sebelum Medusa beristirahat ia mencopot kedua matanya agar bisa tertidur pulas. Pada saat itulah Perseus menunggu Medusa mencopot matanya lalu kemudian memenggalnya. Medusa akhirnya mati di tangan Perseus. Kepalanya dipenggal dengan keji. Ia menggelepar bersimbah darah. Kepalanya dibawa ke hadapan Paris Athena dan tubuhnya dilempar ke dalam bara api agar musnah menjadi debu.
Medusa, Sebuah Peradaban
Sebagai Monster, kita semua setuju bahwa Medusa yang memberikan ancaman dan dapat memorak-porandakan ketenangan negara harus dibumi-hanguskan dan dibunuh. Meski dengan itu kita sebetulnya telah picik dan menutup mata dari “Siapa yang telah menjadikannya monster?”
Sebagai Perempuan, bisa kita bayangkan bahkan kepengecutan pun dipergunakan (oleh Perseus) yang merupakan representasi dari Athena (negara) untuk membenarkan tindakan eksekusi memenggal kepala Medusa yang hanya seorang perempuan. Padahal, kalau Perseus benar-benar jantan, dalam pengertian kita sekarang, ia seharusnya menghadapi Medusa dengan tangan kosong dan menantangnya duel satu-lawan-satu secara kesatria.
Sebagai sebuah kisah Peradaban, dari genangan darah Medusa, akhirnya kita tahu, perlahan-lahan muncul sesosok makhluk berupa kuda kecil yang memiliki sayap. Kuda itu yang sekarang kita sebut sebagai Pegasus, yang dalam kisah hellenik, ia menjadi Dewa Kebudayaan atau dikenal sebagai Dewa Sastra, simbol peradaban. Sehingga secara filosofis kita bisa menerima dengan akal sehat bahwa ternyata dari genangan darah Medusa yang ditumpahkan dengan pengecut itu jelas tercium wangi sebuah peradaban.
Saat ini, tiga abad setelahnya, pemenggalan kepala Medusa memberikan kita gambaran-introspeksi; atasnama apapun (agama, sejarah, dan kebiasaan) seberapa beradab kita memperlakukan perempuan?
Pada akhirnya, saya ingin mengutip ungkapan umum seorang feminis yang mengatakan bahwa ternyata ‘Seluruh pengertian kita tentang hukum dari awal sudah dilecehkan oleh cara berpikir patriarkis. Laki-laki selalu merasa lebih istimewa daripada perempuan, ketersediaan peluang kerja, nominal penggajian, legislasi kita bahkan ditulis oleh mereka yang buta huruf terhadap pengalaman perempuan. Padahal, pengetahuan laki-laki berbeda dengan pengetahuan perempuan. Pengetahuan perempuan menyatu dengan pengalaman hidupnya, sementara pengetahuan laki-laki ada di dalam rasio.’ Meski kadang-kadang tidak rasional.
Semoga saja, saya mengharapkan, kita sebagai bangsa selalu sadar bahwa ada ‘Pegasus’ sebagai rumus kebudayaan yang harus diikrarkan pada setiap kebijakan yang dibuat dan akal sehat yang dipelihara. Dan perempuan harus mendapat tempat yang layak, sama dan sebanding dengan laki-laki dalam pengertian kualitatif.
Cinta Perempuan
Tulisan ini, tentu saja tidak kemudian membuat saya menjadi seorang feminis, apalagi feminim. Kelelakian saya masih tampak dari wajah asli saya, justru perawakan saya makin besar, beberapa minggu ini bahkan berat badan saya bertambah karena terlalu banyak mengonsumsi lemak dari bakaran ikan (bacakan) ngopi, dan cinta seorang perempuan.
Tapi patutlah kita renungkan bagaimana kata-kata Sujiwo Tejo, bahwa “Tuhan menciptakan pundak laki-laki untuk menyangga tangis perempuan, dan menciptakan tangis perempuan agar laki-laki melupakan tangisnya sendiri”. Kutipan ini sangat feminis, memberi ruang bagi perempuan dan laki-laki untuk berbagi tugas, saling melengkapi dan saling mencintai, bukan karena berbeda secara fisik, tapi karena sama-sama memiliki airmata.
Selamat Hari Perempuan se-Dunia! Semoga kita lebih beradab dan lebih mencintai perempuan.
#akucintaperempuan
#samadimataNya
(sebagian besar kisah ini diambil dari kisah Dewa-dewa Yunani).