biem.co – Pandemi Covid-19 telah memberikan kita gambaran awal tentang bagaimana Revolusi Industri 4.0 telah keluar dari relnya dan hancur, berubah arah, kehilangan fokus pada peran industri dan eksplorasi sumber daya alamnya, seluruh dunia saat ini sedang sama-sama berupaya mengambil langkah untuk melindungi martabat manusia dari coronavirus.
Saat tulisan ini diunggah, The Eagle, Amerika Serikat telah kehilangan 20,5 juta lapangan pekerjaan pada April lalu. Statistik mencatat bahkan ada sekitar 2 juta pengangguran baru setiap bulan di Amerika. Tentu saja ini adalah kasus terburuk sejak tahun 1939, sementara The Condor, Indonesia diprediksi akan mencatatkan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 3,5 juta hingga 8,5 juta orang di kuartal pertama tahun 2020. Apalagi, mengingat 56 persen angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal. Ini artinya tingkat pengangguran berpotensi naik lagi dari kisaran 5,2 persen sampai 5,3 persen saat ini menjadi antara 7,7 persen dalam skala moderat dan 10,3 persen dalam skala berat.
Sejak Covid-19 muncul tiga bulan lalu, semua, akhirnya, harus setuju bahwa krisis ini telah bertindak sebagai katalisator untuk dua kekuatan besar transformatif: otomatisasi dan Pendapatan Dasar Universal (Universal Basic Income), dan pandemi ini tentu saja akan mempercepat warga dunia beradaptasi dan menerima dua hal tersebut dari skala yang diprediksi membutuhkan waktu dekade ke tahun atau dalam beberapa bulan saja. Karena setuju atau tidak, krisis ini telah memberikan gambaran tentang bagaimana masa depan distopia industri 4.0 yang berkembang pesat tak terhindarkan yang kemudian menyebabkan gangguan parah pada perekonomian dan struktur tenaga kerja dunia.
Covid-19 telah menggiring ekonomi global ke dalam tailspin yang berputar antara kelangsungan hidup ekonomi atau kelangsungan hidup manusia. Dengan sangat cepat kondisi pasar jatuh, jumlah orang yang terinfeksi tak terbendung, kematian melonjak dari hari ke hari dan sebagian besar roda ekonomi global terpaksa macet ketika setiap orang berlindung di tempatnya masing-masing dan menggaungkan hashtag #stayathome.
Kita dipaksa melakukan semuanya di rumah. Mulai dari bekerja, belajar bahkan beribadah. Beberapa orang, termasuk saya, melihat ke luar jendela dan dunia masih terlihat sama. Matahari masih bersinar, dedaunan masih bergoyang dan burung masih berkicau dengan riang, tak ada yang salah. Namun, jika kita renungkan, ada duka kolektif yang dirasakan dunia saat ini karena rutinitas dan kebebasan sehari-hari yang biasa dilakukan tiba-tiba berhenti begitu saja.
Di tengah rentetan berita suram, krisis ini pasti akan berlalu. Tetapi dunia pasca COVID-19 pasti tidak akan sama, lagi.
COVID-19 akan Mempercepat Otomatisasi Pekerjaan
Ketika mobilitas manusia terhenti karena alasan kesehatan dan ketakutan akan infeksi, kebutuhan kita akan makanan, sumber daya, dan koneksi sosial telah memaksa kita untuk semakin bergantung pada teknologi. Di Amerika Serikat, Amazon memanfaatkan kesempatan ini untuk semakin menguasai dominasinya, sementara di Cina, robot sedang dikerahkan untuk melayani mereka yang berada di karantina.
Di Indonesia, negara menghabiskan sedikitnya 5.6 Triliun untuk memperkaya startup dengan basis platform Skill Academy, selain Ruang Guru ada tujuh perusahaan lain yang ditunjuk pemerintah untuk menjadi penyelenggara program Kartu Prakerja untuk masa pandemi ini, yaitu Tokopedia, Bukalapak, MauBelajarApa, HarukaEdu, PijarMahir, Sekolah.mu, dan Sisnaker. Semuanya berbasis digital.
Hari-hari ini, bisnis dihadapkan pada rasa takut akan kontak antara manusia dengan manusia, bisnis yang dapat beradaptasi dengan cepat dan secara signifikan mengotomatisasikan jalur pasokan dan memotong titik kontak manusia diprediksi akan berkembang di pasar baru ini. Padahal sebelum ini, kebutuhan akan otomatisasi, utamanya didorong oleh keinginan untuk meningkatkan laba dan peningkatan efisiensi. Maka bisa dibilang ini adalah pergeseran penting dalam kesadaran publik hari ini. Kontak manusia yang semakin langka akan menjadikan otomatisasi hampir menjadi kebutuhan bagi banyak bisnis untuk bertahan hidup.
Dengan mengukur teknologi yang tersedia di dunia, para ahli memperkirakan akan ada sekitar 36 juta pekerjaan yang rentan dan akan digantikan dengan robot. Didorong oleh teknologi baru dan pasar yang berubah secara radikal dalam teknologi. Krisis pengangguran telah menjadi nyata bagi puluhan juta orang di seluruh dunia. Meskipun fase ini cenderung bersifat sementara dengan harapan kembali normal pada kuartal ketiga, proses otomatisasi yang membudaya dalam kehidupan kita sehari-hari akan secara radikal diterima dan terlanjur diberlakukan.
Universal Basic Income
Meskipun paket stimulus adalah langkah sementara untuk menghadapi krisis ini, kebutuhan mutlaknya selama krisis ini telah memvalidasi visi tentang masa depan distopian di mana pekerjaan tidak lagi menjadi mungkin bagi sebagian besar masyarakat. Kenyataannya adalah bahwa dampak setelah krisis ini akan dirasakan setidaknya selama beberapa bulan setelah pandemi berakhir.
Bagi orang yang tidak setuju UBI (Indonesia mungkin mengenalnya Bantuan Langsung Tunai – meski tak serupa) dan berargumen bahwa program tersebut akan mengembang-biakkan kemalasan. Akan tetapi kenyataannya berbeda, bagi sebagian besar pekerja yang dilemparkan ke ‘lautan ketidakpastian’, menerima cek stimulus akan memberikan sekecil-kecilnya harapan hidup dan akan sedikit menghibur bagi individu yang terbiasa menghasilkan jauh lebih banyak dari pekerjaannya.
Bagi sebagian besar dari mereka yang terkena dampak kehilangan pekerjaan, penghasilan tambahan dalam bentuk Universal Basic Income membantu mengurangi kecemasan hidup, karena pada akhirnya bisa saja pemerintah tidak dapat mengganti pekerjaan yang telah hilang, oleh otomatisasi atau oleh coronavirus.
Meskipun pandemi dan stimulus bersifat sementara, krisis ini telah mengantarkan sekilas seperti apa masa depan distopian ketika revolusi industri 4.0 yang maju pesat tak terhindarkan menyebabkan gangguan parah pada perekonomian dan struktur tenaga kerja kita. Otomatisasi dan kecerdasan buatan akan datang dan akan secara signifikan mengubah cara kita bekerja, berbelanja, makan, dan bersosialisasi. Ketika masyarakat mengalami kekuatan teknologi dan memanfaatkan pengalaman kolektif kita melawan pandemi COVID-19, UBI bisa menjadi perlengkapan permanen ekonomi politik kita.
Beberapa kelebihan Universal Basic Income dibanding kebijakan welfare lain adalah, pertama, mendorong mencari pekerjaan yang lebih baik. Ketika seseorang diberi bantuan uang secara cuma-cuma ia akhirnya tidak perlu lagi memikirkan kebutuhan dasar. Akhirnya ia bisa mencari pekerjaan yang lebih baik dan lebih layak. Sekalipun misalnya ia tidak berganti pekerjaan, pekerjaan lamanya akan memberikan standar dan kualitas yang lebih baik dari sebelumnya. Itulah yang disebut memanusiakan manusia.
Kedua, Universal Basic Income dapat mendorong melanjutkan pendidikan. Setelah pemenuhan kebutuhan dasar, dana Universal Basic Income bisa digunakan untuk melanjutkan pendidikan yang sempat terkendala biaya. Tentu saja pendidikan yang lebih tinggi memberikan opsi yang lebih besar juga untuk aktualisasi diri. Ketiga, menjadi insentif dalam memulai wirausaha. Kebijakan pemerintah saat ini untuk menstimulasi usaha-usaha kecil dan menengah dapat terbantu dengan Universal Basic Income. Sementara, bantuan berupa pinjaman modal yang selama ini dilakukan memberikan batasan-batasan kepada seseorang untuk berwirausaha.
Istilah takut rugi tidak akan ada lagi jika setiap bulan penghasilan dasar kita sudah terjamin. Kita akan dengan bebas menjelajahi dunia usaha yang diimpikan, tidak selalu terbatas pada modal. Lantas, dengan berbagai kelebihan itu, berapa kira-kira besaran dana Universal Basic Income yang sesuai untuk Indonesia? Dari mana anggarannya?
Analisis yang dilakukan oleh Bareksa Portal Investasi pada 2017 dapat memberikan gambaran tersebut. Berdasarkan analisis, besaran Universal Basic Income yang dapat diberikan kepada setiap individu di Indonesia adalah sebesar Rp 2.010.000. Hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan. Apabila Universal Basic Income ini diterapkan, maka pemerintah harus mengeluarkan sekitar Rp 55,82 triliun setiap bulan atau Rp 669,84 triliun setiap tahun – sekitar sepertiga pengeluaran negara dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).
Memang terlihat cukup berat. Permasalahan dana ini menjadi halangan utama dalam implementasi Universal Basic Income di berbagai dunia. Cara yang paling mudah tentu saja dengan menaikkan pajak bagi para korporasi-korporasi berlaba triliunan. Cara lain yang bisa digunakan adalah pemotongan anggaran-anggaran yang tidak produktif untuk dialihkan ke Universal Basic Income ini.
Namun, Universal Basic Income adalah masa depan. Beberapa negara mungkin melalui cara yang berbeda untuk mencapainya. Terlebih dengan telah bisa diprediksinya Revolusi Industri 4.0 dengan otomatisasinya. Kompensasi Universal Basic Income adalah keniscayaan sebagai bagian dari upaya memanusiakan manusia. #bigthink