Indra Kesuma kembali naik panggung lalu mengajak Jajang membentangkan bendera “Jejak Masa” sebagai tanda pameran dibuka. Keduanya kemudian mengajak Ayatullah Marsai, pendiri komunitas literasi Damar 26 dan Ega Prayoga, Presiden Gaksa Banten untuk menggoreskan kuas di kanvas yang dibentang di dinding sebelah utara halaman sebagai simbol keterlibatan semua orang di dalam kebahagiaan yang diciptakan oleh “Jejak Masa”. Selaju lalu anak-anak mengambil alih kuas, sementara orang-orang dewasa masuk ke ruangan untuk menikmati suguhan karya para perupa Banten Art Community. Anak-anak memenuhi kanvas dengan cat dalam berupa warna. Ada yang menggambar rumah, pohon, dan gunung. Ada yang hanya menggores kanvas sesuka hati dengan garis tak beraturan. Beberapa anak dengan tawa lepas mencelupkan telapak tangan mereka ke cat lalu menempelkannya di kanvas. Asyik betul anak-anak itu bermain cat.
Di masa lalu, di masa-masa peradaban bangsa kuno, memahat atau menggambar adalah aktivitas sakral karena hasilnya menciptakan citra-citra Tuhan dari ide kebertuhanan di masa itu. Di masa kini, telah menjadi lain. Menggambar, sebagaimana cabang seni lainnya, adalah juga sarana kreasi dan rekreasi. Anak-anak sangat dekat dengan keduanya. Para remaja rupanya tertarik juga melakukan itu. Berkerumunlah mereka di depan kanvas. Bermain-main dengan warna, mencipta rupa.
Memaknai Bentuk dan Warna
Tidak semua orang memiliki kemampuan memaknai sesuatu, tapi setiap orang memiliki kebebasan untuk menemukan apa yang baginya bermakna pada sesuatu yang ianya tiada kemampuan untuk memaknai. Kiranya pernyataan itu cukup halus untuk menunjukkan posisi saya sebagai orang yang tidak memilik latar pengetahuan yang cukup untuk memahami bentuk dan warna dalam sebuah lukisan. Saat saya menghadiri sebuah pameran, secara otomatis pikiran dan perasaan saya terlibat di dalamnya. Secara otomatis pula saya berusaha memaknai.
Puluhan lukisan menempel di dinding. Dipamerkan di dua ruangan. Perlahan sekali saya memperhatikan setiap lukisan. Ingin sedetail mungkin, walau saya tidak memiliki pemahaman tentang detailnya. Setidaknya berusaha menemukan sesuatu agar tidak pulang dengan kehampaan. Pada dinding ruangan pertama, di sebelah kanan pintu, saya mendapati lukisan karya Fadli IN yang bertajuk, “Pertahanan Terakhir”. Ada roda besi bergerigi raksasa yang berhadapan dengan gapura kesultanan Banten Lama. Mainan warnanya, cokelat dan emas. Ada mainan cahaya dari terang keemasan yang bergerak semakin gelap ke arah roda besi raksasa.
Dua simbol yang dipertemukan itu, terlebih melihat tajuk yang diterakan, langsung membuat saya memastikan bahwa ianya sedang mengutarakan kondisi Banten. Satu yang tidak dapat saya pastikan, Banten masa lalu sebagai sebuah sejarah atau Banten masa kini sebagai realitas yang digugah? Gapura itu, ada di masa lalu dan ajeg di masa kini. Tidak sepenuhnya menjadi simbol masa lalu. Saya tidak dapat segera memastikan apakah lukisan itu sedang berbicara modernitas dalam kacamata tradisi atau sedang bertutur tentang kedigjayaan Banten Lama yang runtuh sejak penghapusannya pada tahun 1808 oleh Gubernur Jendral Daendels? Saya tidak menemukan jalan untuk memastikan sampai pada detik awal kaki saya melangkah ke lukisan yang lainnya. Tidak ada simbol yang “dapat” saya baca. Meski begitu, saya tahu cara menikmati ketiadaan.