Saat menelisik sketsa wajah Kei, saya sempat berseloroh padanya, “Saya lebih menemukan Kei di dalam sketsa ini dibandingkan pada Kei yang biasa saya temui.”. Hal tersebut saya katakan karena saya merasa mental dan wujud Kei di sketsa itu benar-benar klop. Tentu saja, tentang hal ini saya bertopang pada “prasangka” belaka yang sulit dibuktikan kebenarannya atau dalam pernyataan yang agak baik, berdasarkan persentuhan batiniah yang sulit didiskusikan. Saya mengapresiasi keberaniannya membuat sketsa dirinya sendiri. Mungkin ada orang yang berpikir itu adalah tindakan seorang narsisus, tapi bagi saya itu adalah upaya menghadirkan diri sendiri sebagai suatu ide. Ianya dapat terjadi atas suatu perkenalan yang intim terhadap diri sehingga benar-benar telah mengenal “aku” sebagai “aku”, bukan “keakuan aku.”
Ibarat mesin penggiling padi yang lembur semalaman untuk memenuhi kebutuhan pasar beras, pikiran dan perasaan saya benar-benar bekerja keras untuk dapat menikmati setiap lukisan dengan cara yang saya sukai. Seringkali sesuatu melompat begitu cepat saat berpindah pandang dari satu lukisan ke lukisan yang lain. Begitu juga saat berpindah dari karya-karya Kei ke karya Fahrisal Saputra. Ia menghadirkan lukisan bertajuk “Khi Sholeh Gunung Santri”.
Gunung Santri adalah bukit bersejarah di Banten. Penamaan gunung untuk wilayah yang lebih layak disebut bukit ini, bukan karena masyarakat hanya mengetahui gunung dan tidak mengenal bukit. Penamaannya berkaitan dengan nilai yang berlaku di masa dahulu. Bukit pada umumnya disebut giri atau ukir, sementara yang disebut gunung adalah tempat yang memiliki nilai kesakralan. Bukit yang disebut ukir adalah tanah garapan yang tidak boleh dihuni lebih dari seminggu, sementara giri berfungsi sosial yang dapat dihuni selama mungkin. Gunung Santri dalam hal ini pada mulanya bernama Gunung Kêkêb. Dinamai Gunung Santri sejak masa Khi Wakhia dalam perlawanan melawan Belanda setelah Kesultanan Banten runtuh. Di gunung itu para santri menjadi pagar betis untuk menjaga para tokoh dari serangan Belanda.
Gunung yang terletak di kawasan pantai utara Banten, Kampung Merapit, Desa Ukir Sari, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang itu memang menyimpan sejarah yang sangat panjang, jauh tahun sebelum kedatangan Islam. Menurut beberapa catatan sejarah, Gunung Santri berkemungkinan di masa lalu adalah pundek berundak. Di Gunung Santri pula seorang tokoh kenamaan bernama Khi Sholeh disemayamkan. Sejarahnya bercampur aduk dengan legenda dan mitos. Misal tentang dua kubur yang berada di luar aula makam Khi Sholeh yang disebut sebagai pengawalnya dalam legenda yang dituturkan oleh masyarakat pada umumnya. Padahal kedua kubur tersebut adalah kubur Walisongo periode pertama, yakni Maulana Ali Akbar berasal dari Persia dan Maulana Malik Isroil berasal dari Turki,. Keduanya wafat pada tahun 1400-an, sementara Khi Sholeh wafat pada tahun 1500-an.
Sebagai latar, perlu diketahui bahwa di masa itu, posisi ketinggian kubur seseorang sesuai dengan posisinya di tengah masyarakat. Semakin tinggi keilmuan seseorang di tengah masyarakat, semakin tinggi pula kuburnya. Syaikh Syarifudin, guru dari Sunan Ampel juga dimakamkan di area itu. Di luar. Di arah utara. Kubur Khi Sholeh berada di puncak gunung. Dari posisi tersebut dapat direka siapa Khi Sholeh. Dalam beberapa catatan, disebutkan Khi Sholeh membantu Maulana Hasanuddin Banten untuk menaklukkan Pucuk Umun. Penaklukan Pucuk Umun dilakukan melalui media ayam jago. Adu jago. Pembahasan tentang ini sangat panjang dan di sini tidak berkepentingan untuk membahasnya.